Dada berdenyut hebat, nyeri sekali. Hati pun terasa pedih bagai disayat pisau ribuan kali. Melihat suami dengan tampang tanpa dosa, pagi-pagi sudah mengelus-elus selingkuhannya.
Ingin kuteriak, “Kenapa bukan aku yang kauelus-elus?” Namun, hanya bisa kuungkapkan dalam hati rasa jengkel ini.
Aku yang sedang menyapu di dalam rumah tidak bisa fokus. Sesekali melirik ke arah Mas Hendra. Kemudian dia melangkah ke arahku.
“Dek, kamu kenapa to, kok pagi-pagi sudah cemberut gitu?” tanya Mas Hendra suamiku.
“Tidak apa-apa!” ketusku.
Terdengar Mas Hendra mendesah pelan.
“Dasar wanita, ditanya baik-baik jawabannya selalu begitu. Sudah jelas ada apa-apa, masih saja mengelak,” gumamnya terdengar jelas di telingaku.
“Apa kamu bilang, Mas?” tanyaku sambil hendak memukul kepala Mas Hendra dengan sapu.
“Eh, tidak, Dek. Ampun, jangan pukul Mas, ya? Please.” Mas Hendra memohon sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.
“Kamu sih! Jadi suami tidak bisa mengerti istri sama sekali, kurang peka!”
Mas Hendra hanya ternganga mendengar ocehanku. Membuat hati ini semakin mangkel.
Aku melengos pergi sambil menghentakkan kaki. Salah sendiri pagi-pagi sudah membuat marah dan kesal. Harusnya, membantu mengerjakan tugas rumah. Bukan malah asyik bermesraan.
“Dek!” panggil Mas Hendra dari luar ketika aku sudah ada di dapur.
Aku tak mengacuhkannya. Hati ini sudah sangat dongkol. Capai. Setiap pagi harus mengomel.
“Urus saja itu selingkuhanmu! Dia lebih penting dari aku, ‘kan?” gerutuku sebal.
Lalu tak terdengar teriakan Mas Hendra lagi. Sepertinya, dia memang sudah pergi dengan kesayangannya. Aku menghela napas panjang dan hanya mampu mengusap dada.
“Tuhan … kenapa nasibku harus tragis seperti ini? Suami sudah tidak peduli dan perhatian lagi,” gumamku.
Hati ini benar-benar perih. Mata pun terasa panas dan pandangan mulai buram. Kemudian menitiklah satu per satu bulir-bulir bening yang rasanya sedikit asin.
Aku cemburu pada si merah, pagi-pagi sudah disayang dan ditimang, seolah dia lebih penting. Bahkan dengan bangga dan tanpa risih menciumnya di depan mataku. Istri mana yang tidak akan marah?
Sedang istrinya hanya dibiarkan melongo menyaksikan kebersamaan mereka. Sungguh keterlaluan.
Laki-laki memang begitu, lebih mementingkan hewan kesayangan daripada istri sendiri. Awas saja nanti, aku tidak akan masak. Biarkan saja kelaparan. Supaya nanti minta makan sama ayam jagonya!
“Ayam jago kesayanganmu itu memang kurang ajar, sudah merebut perhatianmu dariku!” Aku berteriak sendiri seperti orang gila.
Rasa sakit ini melebihi ditinggal menikah lagi.
***
Malam hari dengan perasaan yang sedikit gondok, menyaksikan acara televisi seorang diri. Mas Hendra jangan ditanya lagi, dia sedang asyik bercengkerama dengan si merah di teras depan.
Apa tidak bosan setiap hari hanya berduaan dengan ayam? Huh, kerjanya hanya membuai dan menggendong ayam saja. Istrinya dilupakan. Tubuh gemetar dan menggigil. Mungkin, karena kelaparan tidak ada yang bisa dimakan. Bagaimana bisa makan? Tidak ada yang dimasak. Suami benar-benar telah melalaikan kewajibannya.
Stok sabar yang aku punya sudah benar-benar habis. Tak rela jika suami semakin melupakanku, hanya karena si merah. Aku segera bangkit dari duduk dan melangkah menuju dapur. Setelah sampai, mata berkeliaran mencari sesuatu. Mata langsung berbinar ketika melihat barang berkilau nan cantik. Aku meraih dengan cekatan.
“Awas kamu, ya, tunggu saja apa yang akan kulakukan padamu!” Aku tersenyum miring.
Salah sendiri telah merebut perhatian dan kasih sayang suamiku. Dasar ayam jago tidak tahu perasaan. Suka, kok sama jago juga. Harusnya cari betina! Rutukku dalam hati.
Aku berjalan ke teras dengan langkah yang cepat. Setelah sampai di teras, tanpa basa-basi langsung merebut si merah dari tangan Mas Hendra. Dia terbelalak melihatku menarik selingkuhannya, apalagi melihat belati yang mengkilat di tangan. Matanya merah menyala dan rahang mengeras. Namun, aku tak peduli, tujuanku hanya satu mengiris leher si ayam jago.
Aku tersenyum puas, setelah si merah berada di tanganku. Namun, tiba-tiba terasa ada tetesan cairan dingin jatuh tepat di atas kaki. Baunya sangat busuk.
“Ueek, ueek, dasar ayam tidak tahu sopan santun! Buang kotoran sembarangan!” teriakku.
Mas Hendra terpingkal-pingkal melihatnya. Kemudian merasakan hal yang sama terjadi pada tanganku. Ayam jago Mas Hendra buang tahi lagi. Perut rasanya diaduk-aduk, seluruh yang ada di dalam serasa mau keluar. Aku membanting si merah dengan kasar.
“Ini ayammu! Dasar tidak punya adab!” Aku menghentakkan kaki lalu masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu dengan kencang.
“Suami dan ayam sama-sama menyebalkan semua! Tangan dan kakiku jadi kotor semua, ‘kan?” omelku ketika sudah ada di dalam kamar mandi.
“Dek! Dek! Kamu masih di dalam, ‘kan? Cepetan! Mas mau memandikan si merah!” teriak Mas Hendra dari luar.
Aku bergeming. Ayam saja dimandikan! Kenapa tidak menikah dengannya saja? Dasar!
“Dek! Bisa cepat sedikit tidak?”
“Iya, sebentar! Tidak sabaran sekali jadi suami.”
Aku membuka pintu kamar mandi. Belum keluar sepenuhnya, Mas Hendra sudah menerobos masuk. Kemudian menutup pintu kamar mandi dengan kencang.
“Aku tidak akan mengganggu kalian! Kenapa harus ditutup?” tanyaku dari luar.
“Supaya si merah tidak malu, Dek,” jawab Mas Hendra.
Kedua alisku bertaut. Malu? Apa ayam punya perasaan? Duh, sepertinya Mas Hendra perlu dibawa ke psikiater. Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Lalu berjalan menuju kamar, ingin tidur saja rasanya. Berharap besok semua yang terjadi malam ini, hanya sebuah mimpi.
***
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, silau. Ternyata hari sudah pagi. Matahari sudah menyembul. Cahayanya menerobos masuk ke dalam melewati celah jendela kamar. Aku menoleh ke samping kanan, Mas Hendra sudah tidak ada. Berarti dia sudah bangun. Atau jangan-jangan … tidur di kandang ayam.
Aku segera beringsut dari atas ranjang. Setengah berlari, bergegas menuju halaman belakang. Ternyata benar, Mas Hendra tidur di pembaringan ayam. Maksudku, di teras belakang yang dekat dengan kandang. Ah, ternyata semalam bukan mimpi. Hati benar-benar ngilu bagai teriris sembilu.
Rasanya lebih menyakitkan dari suami yang direbut pelakor. Bagaimana tidak lebih sakit? Kalau pelakor kita bisa melabraknya, sedang ayam tidak mungkin, ‘kan marah-marah? Bisa-bisa kita disebut orang gila.
Tiba-tiba aku punya ide jitu. Aku kembali ke dalam rumah, mengambil barang yang aku butuhkan.
“Banjir-banjir! Ayo bangun, Mas. Rumah kita tenggelam!” teriakku sambil menyiram tubuh Mas Hendra dengan air satu ember penuh.
Mas Hendra tergagap. Dia meloncat dari atas kursi panjang. Aku tertawa puas. Akhirnya, tercapai juga mengerjai suami sendiri.
Rasakan akibatnya, siapa suruh tidur sama ayam. Istrinya dibiarkan sendiri.
“Aduh, Dek. Kamu apa-apaan, sih!” teriak Mas Hendra.
Aku bergeming. Kemudian melangkah ke kandang si merah dan mengambilnya. Lalu dengan wajah tanpa dosa mulai menyayatkan pisau ke lehernya.
“Tidakkk! Jangan, Dek. Jangan bunuh kesayangan Mas.” Mas Hendra terduduk lemas menyaksikan si merah meregang nyawa di tanganku.
Sedang aku tertawa puas. Dendam sudah terbalas. Sekarang waktunya eksekusi. Makanya, jangan macam-macam sama istri. Memangnya istri akan tinggal diam saja, jika merasa diabaikan.
****
Selesai ….
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Short StoryBerbagai macam jenis cerpen diantaranya cerita motivasi hidup, perjuangan hidup dan tentang cinta.