Chapter 2

368 74 9
                                    

“Hei, kau pulang lebih awal dari yang kupikirkan.”

Hyewon tersenyum sembari melepas sneakers-nya. Kaki telanjangnya berjalan menghampiri Jungkook yang sedang duduk di ruang makan. “Di luar mendung, aku tidak ingin pulang basah-basah lagi seperti kemarin.” Jawabnya lantas mengambil posisi duduk di samping Jungkook. “Biar kutebak, kau makan lebih dulu?” tatapnya penuh selidik.

Jungkook nampak berpikir; berpura-pura menimang, kemudian terkikik manakala Hyewon berdecak. “Kau tahu aku payah dalam menahan lapar, Sayang.” Jungkook meneguk susu pisangnya sebelum melanjutkan pembicaraan. “Bagaimana?”

“Apanya yang bagaimana?”

“Harimu dengan temanmu ... siapa namanya? Karin?”

Hyewon menggeleng pelan, “Naree, Jung.”

Huh, rupanya aku juga payah dalam mengingat,” akunya dengan wajah memberengut. “Something wrong, Honey?” menyadari ekspresi Hyewon saat ini tentunya membuat Jungkook bertanya khawatir.

Hyewon menggeleng, lagi. “Tidak ada. Hanya terpikirkan soal magangku nanti.” Hyewon hanya berucap itu, lalu diam dalam waktu yang lama seolah sedang melamun.

Untuk sesaat, keheningan menyelimuti ruang makan sampai suara berdeham yang Jungkook ciptakan mampu menyita lamunan Hyewon. “Bagaimana magangmu?”

Hyewon tersentak. “Ah, ya. Magang.” Hyewon menelan salivanya. “Aku sempat mengatakan padanya kalau aku bingung harus magang di mana, dan kurasa dia sama sekali tidak dapat membantu karena kita sama-sama pulang setelah Naree menyelesaikan urusannya dengan pacar barunya,” ucapnya kesal, sedangkan Jungkook hanya tertawa ringan sambil fokus pada susunya. “Benar-benar tidak memberi solusi apa pun untukku,” imbuh Hyewon pasrah, sesekali ia melirik Jungkook, apakah pria itu juga akan menanyakan hal lain. Seperti, apa hanya itu yang Hyewon bicarakan ketika bertemu sahabatnya. Namun, Jungkook hanya terdiam. Membuat Hyewon kembali mengurungkan niatnya akan perihal yang lain. Hyewon mengulum bibir bawahnya.

Sejemang keduanya sama-sama diam. Jungkook yang menghabiskan dua kotak susu pisang dan Hyewon yang menghabiskan beberapa menitnya untuk bangkit dan menyeduh teh. Sesaat terlintas dalam pikiran Hyewon untuk mengatakan sesuatu. Seketika itu ia kembali duduk di depan Jungkook.

“Hei,” Hyewon menyapa Jungkook dengan sedikit tawa ringannya. “Aku mendapat telepon dari temanku, dia mengundangku ke acara pernikahannya.”

Jungkook mengernyit, “Temanmu menikah? Teman sebaya?”

Hyewon mengangguk. “Iya, kenapa?”

“Apa dia tidak meneruskan pendidikannya?”

“Dia memang menikah, tapi tetap melanjutkan kuliahnya.”

Jungkook mengangguk-angguk paham. “Kupikir dia putus pendidikan.”

Keduanya kembali terdiam, Hyewon sedikit kecewa. Rasa tertarik Jungkook hanya berhenti sampai situ saja. Hyewon seakan memancing di kolam tanpa ikan di dalamnya. Hyewon mengusap tepian gelas keramiknya. Bibirnya terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu, namun Jungkook berhasil mendahuluinya.

“Mereka harusnya tahu jika pendidikan dengan pernikahan tidak bisa berjalan beriringan.”

Kerutan tercetak jelas pada kening wanita itu. “Kenapa beranggapan begitu?”

Jungkook tertawa ringan. “Mereka seumuran dengan kita, kau bisa bayangkan jika kesibukan membuat mereka emosi. Di umur yang semuda ini emosi cenderung membuat kita memilih jalan pintas. Keputusan yang salah akan memberi efek kepuasan di awal jangka pendek, dan penyesalan jangka panjang.”

Hyewon mengerjap. “Perceraian maksudmu?”

“Ya ... itu salah satunya.”

“Tidak akan ada perceraian kalau mereka saling mencintai.”

“Kau bisa memprediksi masa depan?” Jungkook berusaha tenang.

“Tidak, aku hanya bilang setidaknya jika mereka mencintai satu sama lain mereka tidak akan menyakiti dirinya sendiri dan orang yang mereka cintai.”

“Hidup bukan hanya soal cinta. Manusia itu harus realistis, Hyewon.”

Hyewon mendengus. “Aku hanya mengatakan temanku akan menikah, kenapa kau sok menasihatiku?”

“Bukan menasihati, astaga.”

“Itu nasihat? Baru saja kau mengatakan seolah cinta dan perasaan itu tidak penting.” Hyewon naik pitam, ia tak tahu kenapa Jungkook berkata demikian. Yang ia pikir dan laki-laki pikirkan tentu saja berbeda. Jungkook seakan salah berucap, membuatnya marah. Mungkin itu kenapa banyak orang mengatakan jika wanita sangat mudah tersinggung.

Wanita itu bangkit dari duduknya, membiarkan kursi yang ia duduki bergeser kebelakang ketika ia berdiri. “Itu kenapa kau sama sekali tidak bisa tegas pada hubungan kita. Kau menganggapnya main-main, Jung.”

Jungkook balas menatap Hyewon. “Kau bicarakan hubungan kita pada mereka?”

“Kenapa? Terdengar kau memang sengaja menggantungkan perasaanku.”

Jungkook menghela napasnya. “Tidak semua pria begitu, jangan dengarkan kata teman-temanmu. Hubungan ini kita yang menjalani, bukan mereka.”

“Aku tidak pernah percaya mereka sebelum semua yang terjadi di antara kita sama seperti yang mereka katakan. Kau tidak tahu aku merasakannya, Jung.”

Pria itu mengehela napasnya. “Dengar, Hyewon. Semakin kau mendengarkan mereka, semakin kau merasa hubungan kita seperti yang mereka bicarakan. Mereka tidak tahu apapun soal kita.”

“Begitukah? Lalu apa yang kau tahu tentang kita?”

Jungkook diam beberapa saat. Ia berkacak pinggang menatap Hyewon yang perlahan mulai meneteskan air matanya dengan tak habis pikir. Ia menurunkan kedua tangan di sisi tubuhnya, seraya berangsur-angsur mendekati Hyewon.

“Kau tahu hubungan kita berjalan tak sama seperti temanmu.”

“Apa alasannya?! Kau berpikir tanpa terikat hubungan yang jelas kau bisa seenaknya pergi dengan wanita lain?”

“Hyewon! Kau tahu aku tidak begitu. Kau pernah melihatku bersama wanita lain?”

“Tidak! Tapi kau buang-buang waktuku dengan caramu yang seperti ini!”

Wanita dengan punggung bergetar itu menjauhi Jungkook. Ia berjalan ke biliknya, membanting pintu kamar cukup kencang, membuat Jungkook sempat terkejut namun atensinya masih mengarah pada pintu yang tertutup rapat tanpa suara sedikitpun.

Hyewon meringkuk di atas ranjang ditemani boneka beruang besar yang sengaja diletakkan di tepi ranjang. Boneka itu adalah pemberian Jungkook dua tahun yang lalu; sehari setelah Hyewon menetapkan untuk tinggal satu atap bersama Jungkook.

Tak lama, angin mendung mendatangkan hujan deras—menemani Hyewon yang sedang menangisi dirinya sendiri. Suara isak wanitanya terdengar lirih menarik Jungkook melangkahkan kakinya perlahan mendekati pintu kamar mereka. Alih-alih kepalan tangan yang terangkat akan mengetuk pintu kamar, Jungkook menjatuhkan tangannya kembali. Ia menghela napas seraya menunduk. Jungkook berbalik bersandar pada pintu kamar mereka, perlahan semakin merendahkan dirinya—duduk di depan pintu dengan pikiran kosong.

———

Sudah lama sekali tidak menyapa.
Sejujurnya ... astaga, malu.

Masih adakah yang mau membaca?

Regards,

ymostar
24 Dec 18

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FALLIN SLOWLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang