Panas matahari hari ini benar -benar tidak bisa diajak kompromi oleh siswa berusia 17 tahun itu. Sudah dua kancing kemeja sekolah nya dilepas berharap angin segar menyusupi tubuhnya sudah basah berkeringat.
“Panas!” teriak lelaki itu kepanasan. Ia menyeka keringat diwajahnya dengan tangannya yang penuh perban.
“Jangan bilang panas dong! Rasanya jadi lebih panas, Uriel !” ujar seorang lelaki lain disampingnya yang ikut menyeka keringatnya
"..." Uriel menjadi diam. Menatap sengit temannya itu dan mempercepat langkahnya.
"Jangan jadi marah dong!" Ia mengejar Uriel. Menyamakan langkahnya dengan Uriel.
Setelah mereka berjalan dalam keheningan, mereka menemukan perempatan. Uriel berniat untuk berpisah dengan teman jalannya itu.
“Aku mau ke Betamart. Aku lewat sini.” Uriel berbelok ke kanan di perempatan dan melambaikan tangannya tanpa menoleh ke belakang.
“Oke! Nanti malam jangan lupa main Games ya! Jangan lupa ganti perbanmu!” temannya membalas lambaian tangan Uriel dan hanya dijawab acungan jempol olehnya.
~~~
Mata Uriel berbinar melihat Betamart sudah didepan matanya. Terlukis senyum tipis membayangkan angin segar di dalam Betamart. Pelan-pelan ia membukanya dan merasakan angin sejuk keluar mengenai Uriel.
“Selamat datang di Betamart! Selamat berbelanja!” sambutan dari pegawai Betamart yang cantik membuat hati Uriel sejenak menjadi sejuk dan menghirup udara dingin didalamnya. Matanya langsung tertuju pada kulkas berisi es krim.
“Nikmatnya makan es krim dibawah terik matahari.” Ucapnya pelan. Ia mengambil 5 bungkus es krim dengan rasa yang bervariasi.
“Lumayan buat dirumah.” Ujarnya dalam hati. Uriel membawa semua es krim miliknya ke kasir. Kasir itu sedikit terkejut melihat tangan Uriel penuh lilitan perban. Namun teringat olehnya untuk tetap tersenyum kepada pelanggang.
“Ini saja mas? Pulsanya gak sekalian mas?” tanya pegawai Betamart tersebut.
“Enggak” jawab Uriel singkat sembari melihat lekat es krimnya.
“Minyak gorengnya mas? Lagi promo beli 3 gratis 1” tanya kembali sang pegawai.
“Enggak."
“Keripik kentangnya juga lagi ada promo mas, 2 bungkus dapat 3 teh gelas kemasan botol.” Tanyanya lagi.
"Enggak."
"Sabun mandi juga lag--"
“ENGGAK” Ujar Uriel cepat dan penuh penekanan. Mengehela nafas kesal, Ia mengambil plastik berisi es krimnya. Beruntung uang yang Uriel miliki pas dan tidak perlu kembalian. Ia lalu keluar dengan wajah masam.
Uriel kembali berjalan santai sambil memakan es krimnya. Menyadari rumahnya tak jauh lagi, Ia mempercepat langkahnya sambil membayangkan apa yang akan menjadi makan malamnya nanti.
Namun, di pertigaan terakhir menuju rumahnya, ia melihat kerumunan yang bermayoritas orang dewasa dan asap hitam pekat disana. Seperti ada kebakaran. Ia pun mendekati kerumunan tersebut. Didapatinya sebuah mobil terbalik setelah menabrak pembatas jalan dan sepertinya mobil tersebut sudah meledak karena warnanya menjadi hitam pekat dan bau gosong. Ia melihat setidaknya ada 6 orang laki-laki dewasa yang berusaha mendorong mobil tersebut. Hati Uriel tergerak. Dengan sigap, Uriel menyerahkan sekantung es krimnya pada sembarang orang didekatnya.
“Tolong pegangin es krim saya” ujarnya cepat. Lalu Ia menghampiri 6 lelaki tersebut.
“Tolong dorong disini!” seorang lelaki tua meminta Uriel untuk membantunnya. Uriel mendekati mobil yang masih mengeluarkan uap panas. Ia meletakkan tangannya pada mobil tersebut. Sensasi terbakar menjalar ditelapak tangannya tak ia hiraukan.
“ SATU.... DUA.... DORONG!” serempak Uriel dan lelaki lainnya mendorong mobil itu dengan sekuat tenaga. Hitungan itu terus diulang hingga mobil itu berbalik.Bersamaan dengan suara dentuman keras, mobil tersebut berhasil dibalikkan kembali.
Lalu tidak berapa lama, sebuah mobil polisi datang. Dua orang polisi keluar dan menerobos kerumunan tersebut. Salah satu polisi langsung membatasi wilayah kecelakaan dengan garis kuning dan memanggil bantuan. Dan seorangnya lagi mengecek mobil tersebut. Ia memerintahkan semua orang disana untuk mundur ke belakang garis kuning. Kecuali Uriel yang masih sibuk melihat ke dalam mobil. Kaca mobil itu telah gosong dan menyusahkan Uriel melihat kedalam.
Merasa peringatannya tak direspon, polisi mencoba menghalau Uriel. Uriel justru memberontak dan membuat polisi itu berubah pikiran dan membantunya.
Pintu mobil tersebut terkunci, Uriel mencari-cari barang barang disekitarnya. Kebetulan ia melihat sebuah linggis bersandar di pagar rumah orang lain. Ia berlari mengambil linggis tersebut.
“Tolong minggir!” seru Uriel seraya mengayunkan linggis itu ke kaca mobil. Setelah ia melihat kedalam tadi, Uriel mengetahui penumpang mobil tersebut tidak duduk di kursi mobil. Melainkan tertidur dilantai bawah mobil.
Suara ayunan linggis menabrak kaca terdengar nyaring diikuti suara-suara teriakan warga dibelakang garis kuning beserta polisi yang terkejut dengan tindakan Uriel.
Kaca mobil tersebut pecah. Ia bahkan lupa hari ini adalah hari yang panas. Keringatnya sudah banyak yang jatuh ditelan tanah. Kulit telapak tangannya sudah mengelupas dan mulai mengeluarkan cairan merah. Uriel menggapai kunci pintu mobil dan membuka pintunya.
Mata Uriel tertuju pada mayat gosong terbakar di kursi supir yang masih mengeluarkan uap panas dan tiba-tiba saja rahang bawah supir tersebut jatuh karena rapuh. Mungkin lidahnya juga ikut jatuh. Tentu saja pemandangan tersebut membuat perutnya terkocok ingin muntah. Namun, Uriel menggigit bibirnya dan mencoba menyelamatkan penumpang yang masih bernafas. Ia melihat seorang perempuan yang pingsan dengan posisi tengkurap sambil melindungi seorang anak lelaki dengan memeluknya. Punggung perempuan itu terbakar cukup hebat. Sedangkan anak lelaki tersebut tidak terluka dan hanya pingsan.
Uriel mendekatkan jarinya ke hidung pada perempuan tersebut. Nafas anak laki-laki itu normal. Berbeda dengan perempuan tersebut. Jarak nafasnya terlalu jauh. Uriel hendak mengangkat perempuan tersebut.
Namun tangannya bergetar hebat. Luka dibalik perban itu mulai robek kembali dan berdenyit sakit. Lututnya jatuh lemas tanda ia kelelahan. Belum lagi pemandangan mayat hitam gosong itu terus membuat perut dan kepalanya berputar.
“Sial! Kalau aku tak melihat mayat gosong itu!” umpatnya dalam hati dan menggigit bibirnya semakin keras. Seorang polisi menepuk pundak Uriel perlahan.
“Sisanya biar kami saja. Duduklah.” Ucap polisi tersebut menolong Uriel berdiri dan memapahnya keluar garis kuning. Penonton di luar garis kuning tersebut menyoraki Uriel. Uriel hanya duduk lemas. Pujian atas tindakan Uriel satu persatu datang, tapi tak ia pedulikan sama sekali. Rasanya jarak pendengaran Uriel semakin kecil. Jadi, Ia tak mendengar apapun.
Terakhir, ia mendengar suara sirene ambulans yang datang terlalu lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Illusion
Mystery / ThrillerSudah lama baginya hidup sendiri di apartemen tua itu. Sesekali sambil menyapa foto yang ia letakkan di dinding. Matanya sangat redup. Rambut hitam pendeknya tampak kusut. Duduk dimeja makan dengan secangkir teh tak bergula didepannya. "Ini buruk. A...