AKIBAT CULAS

48 2 2
                                    

BRUKK!

Sontak gue kebangun dari khayalan indah gue. Gue lihat Rivi udah berdiri berkacak pinggang di depan pintu.

"Ngapain kamu di situ?"

Rivi mendekat dan duduk sembarang di pinggiran ranjang. Dengan tatapan misteriusnya, gue tahu, dia pasti pengen kepo.

"Bang."

"Ha?" tanya gue dengan tampang memelas yang sengaja gue buat-buat. Secara nggak langsung, itu sebagai ledekan ke Rivi.

"Ih!" pekik Rivi yang menghadiahi gue timpukan bantal guling. Untung aja ketangkis. "Kak Ai mana? Kok daritadi nggak kelihatan? Unda juga nanyain tuh."

"Di kamarnya kali."

"Udah Ivi cek kamarnya. Nggak ada tanda-tanda kehidupan."

Gue atur posisi  tidur gue yang tadinya telentang jadi tengkurap dengan kepala yang berhadapan sama dinding. Walaupun gue lebih tua gini dari Rivi, kalau gua lagi bohong, gua nggak berani natap matanya. Jujur pun, bisa jadi korban amukan gorila gua kalau gue bilang si Aeera gue tinggal di Gramed.

"Kalo nggak hidup, ya matilah berarti." kilah gue.

"Hahahahahaaaa, ucul!" cemooh Rivi yang juga bersamaan dengan guling terbang yang mendarat di kepala gue.

"Gue gak ngelawak!" balas gue dengan melemparkan kaos kaki asin -yang tergantung di salah satu besi kepala tempat tidur- bekas main futsal.

Rivi keburu menghindar. Malah niat gue ngebidik mukanya meleset kepentok punggung Rivi.

"Bang! Serius! Ini udah malem loh. Tadikan Kak Ai pergi sama Abang. Abang kemanain dia? Kalo kenapa-napa gi-"

"Enggak bakal. Mana ada penculik yang rela nyulik dia."

"Kok gitu?"

"Iyalah. Penculiknya takut dirugiin."

"Ngerugiin gimana? Kan penculiknya bisa minta teb-"

"Rugi tongkol!"

Di sela-sela kekehan gue, gue lihat Rivi mendengus kesal. Mukanya merah, pengen marah. Tangannya dikepal-kepalin kaya Chris John ancang-ancang mau mukul.

Siap-siap gue bangkit ngambil kaos kaki asin gue yang tergeletak di lantai.

Rivi berdiri. Noh.... Daripada gue lebam dipukulin, mending dia gue jahilin. Nangis juga kagak apa. Yang penting gue selamat lahir batin tanpa terluka sedikit pun. Paling kalau Rivi nangis Unda cuma merepet doang. Udah makanan sehari-hari dah. Nggak takut!

"Apa lu, apa lu? Gue sumpelin nih." ledek gue sambil gerakan maju mundur ngelayang-layangin kaos kaki asin di depan mukanya. "Nih, nih, nih."

"Maju sini kalo berani. Diem aja di situ kaya tugu perjuangan." tantang gue.

"Undaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!"

Gue pikir Rivi bakal kepancing ngelawan gue. Ternyata, dia mewek lari keluar kamar. Nyari peraduan sama Unda.

Gue kejarlah sampe di depan kamar. Bukan maksud untuk ngebujukin tapi nyorakin biar makin asyik meweknya.

"Dek! Jangan ngambek, woy! Gak pantes. Mirip udang rebus!"

"Bacot lu, njir!"

Astagfirullah. Jahat banget gue, ya? Lagi-lagi adek sendiri dizolimi. Maaf, ya, dek. Abang nggak maksud. Cuma sengaja.  Batin gue.

Yakin deh, bentar lagi nama gue cetar diteriakin Unda. Sangking wahnya, lengkingan ferguso aja kalah sama emak gue yang satu ini.

Dengan tenang gue bersandar di palang pintu. Jemari gue udah nggak sabaran buat ngitung.

LETRA DAN SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang