TAKUT DAN BERKABUT

24 1 0
                                    

Selama satu Minggu, masih terjebak rindu.
Detik demi detik, kita tak lagi berkutik.
Tentang rasa yang masih menjadi tanda tanya.
Andaikan aku seorang peramal, aku bisa melihat apa yang akan datang nantinya.
Menerka kapan akan bahagia, atau kapan akan terluka. Namun sepertinya ada dua kemungkinan.
Hilang kebahagiaan karena sudah mendapat jawaban, atau Siap terluka karena sudah bersedia menghadapi rintangan.
Pandangan berkabut mungkin akan menjadi bagus untuk ku lewati, karena di setiap jalannya ada saja kejutan untuk menjadi senang atau menjadi tegang.

Banyak hal yang aku takuti untuk saat ini, salah satunya ada mencintai. Bukan tentang memiliki, melainkan aku yang jatuh sendiri.
Terhempas jauh, sampai tersesat.
Tak tahu jalan pulang, bahkan sampai aku tak kenal diri sendiri.
Demi melupakan luka, aku sampai melupakan bahwa aku pernah bahagia.

Aku takut berjalan menerjang badai sendirian, tanpa ada tangan yang bisa ku genggam.
Tertiup yang topan, sampai terombang-ambing di lautan.
Yang ku lihat hanyalah petir, dan ombak.
Tersapu perlahan dengan arus yang tak pernah lurus, dan terjebak di sebuah karang besar.
Ini adalah samudera, aku tahu persis.
Biru dan luas, bertolak belakang dengan langit yang sedang mendung berwarna abu.

Bualan dan kata rayuan.
Menyebrangi samudera, dan menembus langit ke tujuh.
Aku seorang yang lemah, hanya mempunyai beberapa tenaga untuk mencapai beberapa karang. bahkan daratan yang dekatpun tak dapat ku gapai.
Aku akan malu jika kau ada di pesisir pantai sana. Apalagi jika menagih bsebuah rayuan yang pernah ku ucapkan lewat sambungan telepon malam lalu.

Aku ingin berteriak, dengan gema yang berdengung sepanjang lautan menuju pantai.
Jika kau tak bisa dengar, aku ku hanyutkan sebuah pesan singkat di dalam botol.
Yang ku berikan sepatah kata maaf.

"MAAF."

BUMI, DAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang