prolog

41 6 0
                                    

Seorang gadis berperawakan sedang, kurus, berambut sepunggung ikal, yang mana pernah hampir terpotong habis karena kesalahan teknis tengah duduk di rerumputan yang kering dan sebagian basah karena hujan rinai sebentar mendahului kedatangan ditempat penuangan keluh kesahnya.
Ia menekuk kaki mungilnya dengan buku kecil bersampul cokelat diatas lutut dan pena pink dengan hiasan burung flaminggo kusam yang sedari tadi tengah mengeluarkan isinya karena jari lentik itu tengah memainkan perannya, menulis beberapa kata yang keluar dari hati dan otak  si gadis kurus berambut sepunggung ikal.

Dirasa cukup, ia menyudahi aktifitas rutin sorenya dan beralih mengambil paper bag mungil disamping, menebar remahan roti dan pakan angsa yang dibelinya tadi siang kearah danau kecil yang terkena biasan matahari sore yang kuning kecoklatan.

Ia tersenyum melihat angsa yang bergerombol memakan makanan yang ia tebar tadi serta beberapa buih kecil terlihat dari permukaan kolam akibat beberapa ikan mungil yang juga mencoba mendapat peruntungan ditengah angsa yang berebut makanan.

Namun senyuman itu hanya bertahan sebentar, mendung kembali menghiasi wajah standarnya dan menghasilkan hujan air asin yang keluar dari pelupuk matanya, menetes lembut diatas rerumputan kering tempat ia terduduk diam.

Seakan semesta ikut merasakan kesedihan sang gadis, langit yang semula cerah menjadi kelam mendung membuat beberapa hewan kembali kesarang, pun angsa angsa yang diberi makan tadi, sudah tak terlihat dari kedua bola mata sang pemberi makan.

Tetes pertama jatuh
Sang gadis menghapus air mata terakhir yang keluar dari pelupuk matanya

Tetes kedua jatuh
Sang gadis merapikan rambut yang jatuh didepan wajahnya

Tetes ketiga jatuh
Sang gadis melipat paper bag menjadi bagian kecil, dan mengantonginya sampai ia bertemu tong sampah di jalan pulangnya

Tetes demi tetes pelan berubah menderas
Sang gadis tampak melindungi buku bersampul cokelat dan pena pink bulu flaminggonya, menekuk erat dan membiarkan puncak kepala dan flatshoes bermotif burung flaminggo terkena derasnya air hujan yang menyamarkan bulir bening yang kembali jatuh dari pelupuk matanya.

Tapi itu tidak terlalu lama, hujan berhenti bersamaan dengan sang gadis yang merasakan tidak ada butiran air mengenai puncak kepalanya.

Bukan karena hujan memang benar-benar berhenti, hujan masih menderas dan semakin deras hanya hujan di sekeliling tubuh sang gadis yang tidak menyentuh kulit halusnya dan si gadis tahu apa jawabannya.

Sebuah payung, cokelat dengan sulaman berbentuk flaminggo di salah satu sisi, melindungi tubuhnya. Dengan genggamanan erat dari sang pemberi payung. Dengan pelan si gadis mengangkat tubuhnya dan melihat wajah sang pembawa payung, wajah yang tidak akan ia lupakan, dengan rahang tegas dan panca indera sempurna. Basah terkena deraian air hujan pun dengan rambut cokelatnya.
Sang pembawa payung menyodorkan sebuah buku dan pena yang sama dengan milik si gadis, disertai bisikan lembut diantara derasnya air hujan, tapi ia masih mendengarnya.

"Gavina.."

☔☔☔

gavinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang