Lembar-lembar pakaian tertabur acak, beberapa ada yang terkoyak. Ranjang berderit-derit seiring dengan selang-seling antara angkat dan empas. Lenguh, racau, dan desah mengudara, tidak jelas yang mana milik siapa karena satu sama lain telah menyatu, mengaburkan batas-batas yang semula ada. Seolah tahu, lampu di nakas menyala malu-malu, tak ingin pendarnya mengganggu sepasang yang sedang bercumbu itu. Tapi, sepasang apa?
Tiba puncak disusul gelombang-gelombang dan pekikan nama satu sama lain, segala-segala jadi putih. Dua-duanya terempas. Sejenak, rengkuhan mereka lepas, lalu saling rengkuh lagi saat engah napas mulai jinak. Lucas memeluk Mark yang masih kepayahan melawan kebas di tubuh bawahnya. Selimut ditarik tinggi-tinggi, sisa malam akan tetap terasa dingin biarpun keduanya habis terbakar api.
Lucas menangkup wajah Mark, jemarinya telaten menyibak anak rambut yang lepek kena keringat. Satu kecupan mendarat di bibir Mark, mengacaukan napas keduanya untuk kali kesekian.
"Aku cinta kamu, Mark."
"Aku tahu."
Mereka diam, tautan raga perlahan lepas. Perasaan penuh mulai surut, kekosongan menyergap dada masing-masing. Satu sama lain menjadi asing.
"Bangunkan aku jam enam," Mark berkata lirih, lalu mengganti posisi tidur agar tidak menghadap Lucas. Si besar merengkuh pinggang Mark dari belakang, kemudian diucapkannya dengan penuh sayang, "night, Mark!" Lampu di nakas padam, gelap jadi selimut lapis kedua bagi sepasang itu.
*
Perasaan kosong dan asing masih tinggal saat mereka berdua sarapan. Sepasang itu bercakap secukupnya, sekadar tanya jawab soal takaran sereal misalnya. Hening di meja makan hanya terpecah sekali dua oleh denting sendok atau kriak-kriuk kunyahan.
Mark selesai makan pertama. Setelah membereskan peralatan makannya, ia meraih jaket yang tersampir di kursi. "Makasih, Lucas. Aku pulang, ya?"
Lucas beranjak menyusul Mark ke pintu depan, mengabaikan serealnya yang masih sisa setengah mangkuk. "Kamu," suara Lucas tercekat, "nggak apa-apa?"
"Jujur, nggak." Mark menggigit bibir bawahnya, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan, "aku nggak bisa lanjut."
"Ketahuan?"
"Nggak, maksudku, aku nggak tahu. Tapi, ini sudah terlalu jauh," Mark menghela napas, "dan salah."
Lucas mengangkat alis, "Katamu dia yang mulai dulu? Main belakang?"
"Kami bicara soal itu kemarin. Dia ngaku sudah berhenti, terus mulai ngoceh soal komitmen. Kupikir dia benar, masalah komitmen itu."
"Kalian sudah nggak saling cinta, kan?" tanya Lucas hati-hati.
"Benar."
"Kenapa nggak pisah?"
"Nggak bisa, bakal sulit ke depannya." Mark gelisah, gesturnya terlalu kentara. "Aku juga cinta kamu, Lucas. Tapi, aku nggak mungkin pisah sama Hyuck sekalipun kami sudah nggak saling cinta."
Lucas mematung. Hatinya seperti telur di ujung tanduk yang sebentar lagi terjun bebas, lalu remuk. "Kita masih bisa, kan? Diam-diam?"
"Nggak. Aku menghargai keputusannya dan kami sudah sepakat buat nggak main belakang."
"Bukannya kamu dulu mau balas dendam? Misimu itu?"
"Lupakan saja, itu childish." Mark memakai jaketnya, bersiap meninggalkan rumah Lucas. "Kita masih bisa jadi teman, kalau kamu mau. Soal cinta itu, biarkan dia mengkristal."
Ungkapan biarkan dia mengkristal yang dikutip Mark dari sebuah novel secara absurd membuat keduanya tertawa lepas, seakan percakapan barusan tidak lebih berarti ketimbang bahasan tentang cuaca nanti sore. "Supernova seri satu, kamu masih ingat ceritanya, kan? Rana sama Re kayak kita."
Lucas mengangguk, senyum tipis terukir di bibir tebalnya. Meski hatinya patah, ia berusaha melepas Mark dengan ikhlas. "Hati-hati di jalan!"
*
[a/n]
Kalau ada yang pernah baca Supernova KPBJ, pasti nggak asing sama istilah cinta yang mengkristal itu.
NB: maaf, work ini kebanyakan pakai kalimat langsung.