happy Readinglove yeahhh
***
Seperti janjinya, Mawar tidak menghadiri undangan yang diberikan Yuda, juga tidak ke mana pun. Dia hanya di rumah, membolak-balik katalog tas yang diberikan tetangganya. Melihat tas-tas itu, Mawar tergiur ingin membeli. Membuatnya sadar sudah terlalu lama ia menjauh dari pusat perbelanjaan. Sebenarnya bisa saja dia pergi ke kota dengan atau tanpa Kris. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya saja, Mawar memang lebih sering merasa malas meninggalkan rumah. Tempat tinggalnya yang sekarang ini memang benar-benar menyajikan kedamaian layaknya rumah, membuat Mawar tidak pernah terpikir untuk pergi ke tempat lain lagi.
"Bik, kalau tas ini bagus nggak?" Mawar bertanya pada Dini, asisten rumah tangganya yang sedang memijiti punggungnya.
"Bagus kok, Buk. Apalagi warnanya merah. Ibu kan memang cocok pakai warna merah."
"Bukan buat aku. Buat Bibik. Cuma tiga ratus nih harganya, beli buat Bibik bertiga, masih belum sampai sejuta. Anggap hadiah, Bik. Mau nggak?"
"Ya kalau dikasih sih, mau lah, Mbak."
"Beneran, ya? Aku pesan, ya?"
"Tapi apa nggak apa-apa, Bu? Nanti kalau Bapak marah, gimana?"
"Ck, suami saya tuh badannya doang tatoan, mukanya aja seram, aslinya baik, kok. Uangnya tuh banyak. Lagi pula aku belinya nggak pakai uang dia, kok. Pakai uang aku. Tabunganku."
"Uang kamu kan dari aku juga."
Mawar menutup katalognya secara refleks. Menoleh dan tersenyum seperti anak kecil yang sedang dipergoki berbuat nakal.
"Kok aku nggak dengar suara kamu datang? Biasanya teriak-teriak," ucap Mawar, meletakkan katalognya, menghampiri Kris untuk memeluk suaminya. Dia benci aroma tubuh suaminya yang didominasi parfum, yang ditebak Mawar merupakan ajaran dari Nita.
"Kalau lagi ada salah begini, kamu manis banget. Kenapa nggak tiap hari aja?"
Bibir Mawar mengerucut merajuk. Saat tangan Kris mengacak rambutnya, ia menarik kepalanya menjauh. Melepaskan rangulan tangan Kris di pinggangnya. Kembali duduk di sofa, membelakangi Dini sambil menepuk pundaknya, meminta dipijat lagi.
"Astaga!" teriak Mawar saat Kris mengangkat tubuhnya, memindahkannya ke bagian ujung sofa.
"Geser, Mbak. Kamu pindah ke sana." Kris menunjuk arah belakang Mawar sedang ia sendiri membaringkan tubuhnya di sofa dengan kepala di atas pangkuan Mawar.
Mawar sebenarnya kesal, tapi tidak mungkin juga ia menuruti keinginan hatinya untuk menggeser kepala itu ke tempat lain.
"Aku lagi pijit, loh!" gerutu Mawar.
"Ya emangnya kenapa? Kan masih dipijit juga. Aku nggak nyuruh Mbak Dini berhenti, kan? Cuma suruh geser doang!"
"Kamu tuh ..." Kehabisan kata-kata, Mawar memilih diam dan menikmati pijitan Dini yang sudah berkurang nikmatnya. Mungkin pengaruh hatinya yang sedang kesal, mungkin juga karena Dini yang memang merasa canggung harus menjadi orang ketiga di kebersamaan majikannya.
Kris memejamkan matanya, tampaknya hendak tidur. Lalu, dia memutar tubuhnya hingga telungkup, wajahnya kini berada di tengah lipatan kaki Mawar yang bersila.
Geli, sudah pasti, risih juga, tapi bukan Kris namanya yang mau mendengarkan keluhan orang lain. Melihat potongan rambut Kris yang panjang di bagian belakang, Mawar merasa terbujuk untuk memainkannya. Dia memang sangat suka kalau rambut Kris agak dipanjangkan, membuatnya bisa memainkan rambut itu saat mereka bercengkrama, atau menjambaknya saat mereka bercinta. Dulu sekali, keposesifan Kris rasanya manis. Sekarang Mawar sudah berusia dua puluh delapan tahun dan Kris tiga puluh. Sudah terlalu tua-menurut Mawar-untuk terlalu terbawa perasaan dalam kehidupan rumah tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Sah
RandomKetika cinta menyapa, justru di saat semua sudah begitu terlambat. Hati Mawar sudah terlanjur mati rasa, karena Kris, sang suami, terus saja terlibat dengan wanita lain. Dan puncaknya, ketika dengan lantang mama mertuanya, mempermalukan keluarga Ma...