"Belum pulang, Key?"
Aku sontak menoleh, menemukan Revano berdiri di sampingku sambil menatap ke jalanan yang tidak pernah sepi.
Aku menggeleng canggung, "Kamu juga kenapa belum pulang?"
"Biasa, habis rapat."
Setelah itu semuanya hening, aku bukan orang yang pandai dalam percakapan ketika bertemu dengan orang yang baru.
Bisa dihitung beberapa kali aku berbicara dengan teman sekelasku, aku hanya akan berbicara panjang dengan orang tua, keluarga, Citra, Dina, dan Fachri. Aku selalu dimarahi oleh Dina dan Citra, mereka bilang aku harus pandai mengajak orang berbicara agar aku tidak merasa kesepian jika mereka tidak masuk sekolah.
"Mau pulang kapan?" Pertanyaannya membuat lamunanku buyar.
Aku melirik jamku, seharusnya sudah 30 menit yang lalu aku di jemput tapi sampai sekarang kakakku belum juga muncul.
"Nunggu kakak dulu."
Revano melihat ke langit, "Kalau nunggu kelamaan, ini udah mau hujan."
Aku diam, bingung harus merespon apa.
"Mau pulang bareng?"
Ajakkannya cukup membuatku mundur beberapa langkah.
"Kamu kenapa?"
"Gapapa, kamu pulang duluan aja. Pasti sebentar lagi kakakku datang."
Revano menghela napas, "Baiklah." Tangannya bergerak mengeluarkan sesuatu dari tasnya, "Dipakai. Bentar lagi hujan nanti kamu kedinginan."
Dengan rasa canggung aku mengambil jaket dari tangannya, "Terima kasih."
Revano tersenyum, "Sama-sama, dipakai jangan enggak."
Aku mengangguk.
"Aku duluan, ya. Hati-hati."
Perlahan Revano bergerak dari tempatnya, meninggalkanku sendiri di depan gedung sekolah.
Aku melihat jaket Revano yang berada di tanganku dengan datar.
Aku menghela napas, lagi-lagi dia menolongku. Aku tidak tau apakah dia juga seperti ini dengan orang lain, rasanya cukup aneh ketika aku dan dia yang bahkan tidak terlalu kenal, tetapi dia sudah beberapa kali menolongku.
Terdengar suara motor yang mendekat, Fachri datang dengan motor kakaknya.
"Ngapain?" tanyaku ketika motor itu berhenti di depanku.
"Mau ngamen," jawabnya asal, "kalau nanya itu yang bermanfaat sedikit dong, udah tau mau jemput. Ngapain sih belum pulang jam segini? Beneran mau jadi teman penunggu sekolah, ya?"
Aku memutar bola mataku, "Aku nunggu kak Rin ngejemput. Kamukan tadi katanya sakit, makanya aku pergi sama kak Rin."
Fachri terkekeh, sebenarnya dia tidak sakit sama sekali, itu hanya menjadi alasan untuk menghindar dari pak Joko yang memberi peringatan akan memotong rambut Fachri hari ini jika dia tidak merapikan rambutnya sendiri. Sayangnya tadi pagi Fachri lupa sehingga dia memutuskan tidak masuk sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A wisher
ChickLitTidak pernah aku bayangkan bahwa kita akan sampai ke masa yang paling menyenangkan ini. Masa yang dimana ada senyummu, senyumku, tawamu, dan tawaku juga. revisi hanya sebagian chapter, sebenarnya cerita ini belum tamat tapi akhirnya aku mutusin nger...