Aku menatap mereka berdua dengan tatapan heran, mereka berdua ini ketika berada di satu ruang yang sama mereka akan mendebatkan suatu hal yang sebenarnya tidak penting.
"Menurutku, makan kuaci itu lebih baik dikupas semua dulu, jadi enggak perlu makan, buka, makan, buka. Ribet banget."
"Kita di tim yang beda, menurutku makan kuaci lebih enak dikupas satu-satu. Lebih menghayati. Dari pada dikupas semua, terus teman datang ke kamu, lalu makan kuaci yang kamu kupas. Kan, kasian udah kupas kuaci, eh malah dimakan teman."
"Itunya kamu aja yang pelit, enggak mau berbagi sama teman," ucap Dina sinis. Sedangkan Fachri terkekeh pelan.
Mereka berdua dari tadi memang mendebatkan hal-hal yang tidak penting, seperti kuaci dikupas semua atau dikupas satu-satu.
Aku bingung ingin memihak kepada siapa, karena aku setuju dengan Fachri, tetapi aku juga sedang memakan kuaci hasil kupasan Dina.
Mereka berdua datang ke kelasku membawa lima bungkus kuaci, setelah mendapatkan pengumuman bahwa semua guru mengikuti rapat.
Citra memilih pergi ke perpustakaan, tepat setelah melihat kedua orang ini datang ke kelasku.
Tinggalah aku seorang diri mendegar perdebatan mereka.
"Aku enggak pelit, ya." Fachri mengambil kuaci yang sudah dikupas Dina.
Dina mencubit tangan Fachri, "Enggak pelit dari mana?! Ini juga ngapain ngambil kuaciku! Sana kupas kuacimu lalu makan."
"Emang aku enggak pelit. Kamu aja tuh yang pelit, buktinya aku makan kuaci malah dicubit. Keliatan banget kamutu enggak suka berbagi."
Dina mendelik kesal, "Enak aja! Kita itu beda tim sesuai katamu! Kamukan tim kupas lalu makan, sedangkan aku tim kupas semuanya!"
Aku memijat dahi pelan, berusaha memikirkan apa yang harus aku lakukan agar mereka berhenti.
"Oh, yaudah. Kalau gitu aku setim sama kamu. Gitu aja ribet," ucap Fachri dengan santainya kembali memakan kuaci hasil kupasan Dina.
Dina mengibaskan tangannya, "Enggak bisa! Pokoknya enggak bisa!"
"Hai, Boleh ikut gabung?"
Aku dan mereka berdua sontak melihat ke orang yang ingin bergabung tadi.
"Boleh, itu kamu bawa apa ya?" yang menjawab itu Dina, sedangkan aku dan Fachri diam.
"Bakso goreng sama air, ambil aja. Aku emang beli banyak buat kalian."
"Tumben banget, kenal aja enggak," sinis Fachri.
Aku menghela napas, suasana mendadak terasa canggung setelah Fachri menunjukkan secara langsung ketidak sukaannya kepada Revano.
"Fachri, gaboleh gitu," tegurku ke Fachri. "Vano. maaf, ya."
Revano tersenyum, "Gapapa."
"Wah! Ini sesuai selera aku banget, makasih ya, Van," ucap Dina.
Revano menoleh ke arah Dina, "Sama-sama, kamu tim enggak pake saus sama kecap juga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A wisher
ChickLitTidak pernah aku bayangkan bahwa kita akan sampai ke masa yang paling menyenangkan ini. Masa yang dimana ada senyummu, senyumku, tawamu, dan tawaku juga. revisi hanya sebagian chapter, sebenarnya cerita ini belum tamat tapi akhirnya aku mutusin nger...