Awan yang Belajar pada Bumi

596 142 55
                                    

Aku berlari, tergesa-gesa, menghela dan mengembuskan napas cepat, berkeringat. Dadaku sesak, bahkan jantungku berdetak kian kencang. Mataku panas, dan sepertinya sangat merah.

Dan aku berhenti, tersengal-sengal. Menatap hal yang ada di depan, pikiranku mulai tenang perlahan demi perlahan. Angin dingin meniup rambut, membuatnya yang sejak awal berantakan jadi semakin acak-acakan.

Aku mengembuskan napas sedikit demi sedikit, berusaha menenangkan tubuh yang sejak tadi berlari ke atas bukit ini. Sudah mulai lemas, kududukkan tubuh ini ke atas rumput lembut yang basah sisa hujan kemarin malam. Cahaya matahari pagi sudah menimpa dunia pukul delapan pagi. Pohon-pohon besar yang rimbun menghalanginya untukku.

Waktu masih berjalan, dan aku masih bergeming dalam posisi yang sama.

Tiba-tiba, jari-jari kecil meraba-raba wajahku, membuat kepalaku tersentak ke belakang dan memerhatikan makhluk apa yang baru saja memegang hidungku.

Dan, ia di sana. Seorang gadis kecil yang merangkak. Matanya melirik ke atas dan mulut kecilnya berbicara, "Eh? Maaf. Yang tadi kupegang siapa? Jangan kaget, maafkan aku sekali lagi. Aku tidak sopan, ya, tadi? Maaf, maaf, maafkan aku."

Aku menelan ludah. "Siapa kamu?" Suaraku terdengar serak dan berat dan mungkin itu yang membuat gadis kecil di depanku sedikit terkesiap.

"Kakak dari mana?" Bukannya menjawab pertanyaanku, gadis kecil itu malah bertanya balik kepadaku.

Aku mendengus. "Hanya jalan-jalan di bukit ini. Pagi adalah waktu yang tepat. Dan aku bertanya kepadamu, jangan mengalihkan lagi. Kenapa kamu ada di sini?" Aku bertanya tegas, tapi masih heran menatap mata gadis itu.

Matanya... berbeda.

Gadis kecil itu tersenyum kecil, duduk bersimpuh di tempat aku semula bersila. "Aku gadis usia sebelas tahun yang terpisah dari rombongan pelesir kakak-kakak dan teman-temanku. Aku awalnya hanya berdiam sebentar karena kecapaian. Tapi, aku tak tahu kalau mereka terus berjalan dan tak melihat ke belakang. Aku baru sadar saat meraba-raba udara dan tak menemukan tangan kakakku. Aku tertinggal."

Gadis itu berhenti sebentar untuk jeda bagi diriku berpikir. Meraba-raba? Gadis kecil itu... tidak bisa melihat?

Ia tertawa pelan karena tidak mendengar lagi suaraku. "Aku memang tak bisa melihat, Kak. Dan tenang saja, aku takkan memaksa Kakak untuk mencarikan rombonganku. Kali ini, aku yang akan membuat mereka mencariku." Dia tertawa lagi sambil mengepalkan tangan.

Beberapa detik kemudian, gadis kecil itu tersentak dan berdiri tiba-tiba. Mataku mengikuti gerakannya, dan berkatalah ia, "Aku lupa. Maafkan aku lagi untuk yang kedua kalinya, Kak. Aku harus berada sedikit jauh dari Kakak. Jangan tersinggung. Ini mungkin memang membingungkan, tapi Kakakku yang berjilbab putih bilang-" Gadis kecil itu berdeham sebentar. "'Kita umat perempuan tidak boleh terlalu dekat dan berbicara berdua dengan laki-laki yang bukan mahram kita.' Jadi, izinkan aku berada sedikit jauh dari Kakak."

Aku sama sekali tidak keberatan apalagi tersinggung. "Kau harus melakukannya. Silakan."

Dia menyeringai lalu meraba-raba udara sampai cukup baginya jarak antara kami. Ia duduk, meluruskan kakinya, mendesah lega. Dan kami kembali hening, diam beberapa saat.

"Kakak menangis."

Aku menoleh kaget, dan kelopak mata gadis itu tertutup. "Apa?" Aku benar-benar tidak mendengarnya.

"Kakak menangis." Setelahnya, ia mengembuskan napas pelan dan mulai berkata-kata, "Kakak kecewa pada satu hal. Kakak benci pada satu hal. Kakak menyalahkan diri sendiri. Kakak menangis sebelum aku datang." Dia menengadah dan angin memainkan ujung jilbab hitamnya.

Awan yang Belajar pada BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang