Part 1#Luka

77 6 0
                                    

       Entah sudah berapa lama gadis itu terdiam di tepi hamparan danau yang berkilauan terpapar sinar senja. Linangan air mata itu juga tak kunjung mereda, bahkan semakin menganak membasahi permukaan kedua pipi. Kejadian beberapa jam lalu sempurna mencabik hatinya. Kalau boleh, ingin ia kembali ke masa lalu, tepatnya ketika peristiwa menyesakkan tersebut terjadi. Membalas, atau memaki si pelaku, hingga hatinya benar-benar reda. Paling tidak ia dapat menyeringai puas atas apa yang ditimpakan padanya.

      Akan tetapi amat muskil semua terjadi. Semua telah berlalu bak kerjapan mata. Kata-kata pemuda itu laksana ribuan mata pedang tajam yang menghunus jantungnya. Membuat ia terpaku beberapa saat sebelum rasa sakit mencekam syaraf ulu hati.

     "... Ini adalah murni kesalahanku.  Maafkan aku, Dias. Berikan aku  kesempatan memperbaiki semuanya..."
     Kalimat terakhir yang ia dengar dari pemuda itu masih terngiang jelas di gaung telinga.

     Memperbaiki? Semudah itukah pemuda tersebut mengutarakan keinginannya untuk memperbaiki semua dari awal? Seolah-olah tak ada dosa sedikitpun ketika ia mengungkapkannya.

     Sudah berbulan-bulan Dias membangun dinding kepercayaan. Bahkan beberapa nasihat teman-temannya sempat dihiraukan hanya teruntuk mempertahankan kepercayaannya. Dan sekarang, balasan apa yang ia dapat?
      Rasa sakit yang berkepanjangan serta penghianatan yang menyakitkan disaat hati masih mengharapkan kehadiran cinta. Kepercayaan itu hancur berkeping-keping, berserakan dimana-mana terseret arus waktu.

      "Jahat! Kamu jahat, Laang..." Suaranya terdengar serak akibat isak tangis yang tercekat di tenggorokan.

      Kedua tangannya melingkar memeluk lutut. Lemas. Sesekali diusapnya sisa air mata yang mulai mendingin terserap waktu menggunakan punggung tangan kanan. Sedang mata bulat miliknya menatap kosong dua angsa putih yang sedang bercanda gurau di tengah-tengah dinginnya air danau. Mengepakkan sayap seputih salju, serta menari-nari bak balerina kelas dunia. Begitu serasi, mengingatkannya akan kebersamaan dengan pemuda itu selagi benih cinta masih merekah diantara keduanya.

    Kenangan manis yang menjelma hujatan luka dalam sekejap. Perlahan-lahan membunuh, menyudutkan Dias di sudut lembah kepedihan.

    Dias tak habis pikir, bagaimana lelakinya bisa secepat dan semudah itu berubah?. Sosok yang dulu dikenal santun, pendiam dan penyayang tiba-tiba berubah bak durjana kejam. Hatinya benar-benar sakit. Lelaki yang dipercayainya tak lagi sama dengan yang dulu. Hatinya mulai berbalik haluan. Ia benar-benar ingin melupakannya dan membuka lembar kehidupan baru tanpa sosok lelaki itu disampingnya.

    Namun, sanggupkah Dias menjalaninya seorang diri? Gadis itu gamang dengan kata hatinya.

    Wajah sendunya mendongak lemah tatkala dirasakan sebuah tangan mendarat lembut di bahu sebelah kanan.

    Lelaki jenius berambut acak. Bagaimana ia tahu kalau aku berada disini?

     Tanpa ba bi bu lelaki berkemeja soft blue mengambil posisi duduk di sebelah kanan Dias. Ditatapnya gadis manis yang ditemukannya satu tahun lalu di taman sekolah dengan tatapan penuh kasih. Kemudian menarik ujung bibir hingga membentuk segurat senyum yang akan membuat setiap orang berhenti berkedip bila memandangnya. Teramat manis dan menyejukkan. Ia sudah tahu apa yang kini menimpa gadis kecilnya.

     Inilah hal yang dinantikan Dias sedari tadi. Obat penawar. Baginya, lelaki disampingnya bagaikan penenang. Ia selalu ada disaat Dias memerlukan bahu untuk bersandar, ataupun telinga untuk mendengarkan keluh kesahnya. Ketulusannya melebihi kasih sayang seorang kakak kepada sang adik.
  
    Kekasih? Juga bukan. Mungkin pengganti sosok seorang ayah yang selama ini sangat dirindukan. Meski usia mereka hanya terpaut satu tahun.

    Akhirnya, Dias hanyut dalam tatapan lelaki tersebut. Kepalanya mendarat pelan diatas bahu lelaki itu, kedua tangan Dias memeluk erat lengan kekarnya. Perlahan-lahan air mata Dias kembali merangkak keluar. Tumpah ruah membasahi kemeja lelaki keduanya. Sesenggukan tangis pun mulai menyedu sedan mengiringi kesunyian senja yang merambat.

    "Dia jahat, kak... Dia jahaaatt!!!..."

     Sam Seroja, begitulah namanya, hanya tersenyum tipis menanggapi. Berulangkali tangannya mengusap lembut kepala Dias, mencoba menenangkan. Tapi gadis disampingnya juga tak kunjung tenang. Sedari tadi hanya Isak tangis berpadu hujatan cerca.

    "Menangislah sekencang-kencangnya. Luapkan kekesalanmu, jangan terus menerus kau pendam" tukas Sam.

    Dias mendadak berhenti menangis. Mata bulatnya menatap lekat pemilik wajah menarik disampingnya. Mungkin ia bertanya-tanya: kenapa kak Sam menyuruhku terus-menerus menangis? Kenapa dia sama sekali tak menghiburku?

    Lagi-lagi Sam tersenyum simpul. Ia sudah menerka reaksi Dias selanjutnya. Rupanya rangkaian rencana sudah disiapkan terlebih dahulu oleh Sam untuk Dias.

    Diarahkannya wajah gadis itu menghadap wajahnya. Mata mereka bersibaku , saling berpandang lurus. Hal tersebut nyaris membuat Dias salah tingkah. Kedua pipinya merah merona seperti kepiting rebus. Sebelumnya, tak pernah mereka berinteraksi sedekat ini.

    "Dias, dengerin kakak" Sam mengawali pembicaraan.

     "Air mata adalah senjata utama kaum wanita. Sama sekali kakak tidak heran jika melihat seorang wanita menangisi permasalahan kecil. Tetapi, asal Dias tahu, fungsi air mata bukanlah untuk itu. Lebih dari itu. Air mata ada, sebagai penenang hati tatkala dilanda pilu. Tak hanya wanita, lelaki pun berhak menggunakan air matanya b. Bedanya dengan lelaki, lelaki lebih bisa menyiasati luka dengan berpura-pura tanpa ingin orang-orang disekitarnya tahu.
    Itu tandanya, kamu memiliki hati yang lembut. Terlalu lembut bahkan, hingga membuat orang lain mencuri peluang untuk memanfaatkan kebaikanmu. Kakak menyuruh kamu menangis bukan karena kakak tak peduli, karena dengan menangis kakak ingin kamu melupakan permasalahanmu" tutur Sam.

    "Jangan sesekali bermain dengan bunga mawar jika kamu belum siap menerima durinya, Dias. Karena hatimu masih lemah untuk mengenal cinta" sambung Sam, lagi-lagi diiringi seulas senyum.
  
    Gadis itu menundukkan kepala, mengangguk lemah. Mencermati kembali setiap kata yang diucapkan Sam. Mungkin kakaknya itu benar, tanpa sepengetahuannya banyak orang diluar sana yang ingin memanfaatkan kebaikannya. Termasuk lelaki yang berhasil menggores hatinya.

    "Mungkin kakak benar, selama ini aku terlalu lemah hingga tak kusadari musuh-musuhku sedang menyusun rencana untuk kehancuran ku" keluh Dias penuh sesal.

     Tugasnya saat ini adalah melupakan segalanya. Kenangan-kenangan ataupun momentum tak terlupakan. Lelaki semacam itu tak pantas diberi kesempatan kedua. Cukup sudah perhatiannya disia-siakan. Mulai detik ini juga ia bertekad untuk merubah satu demi satu dan memperbaiki perlahan-lahan.

     Dias melepaskan pelukannya dari Sam. Sekali lagi ditatapnya pemuda yang tersenyum manis kearahnya. Kemudian melempar kearah sinar emas senja yang melambai-lambai kepada seluruh penghuni alam. Dan tanpa sepengetahuan mereka, sepasang mata mengintai tajam dari kejauhan. Mata pendendam. Kemudian pergi bersama dengan kepulangan senja ke peraduan.

Hari pun gelap.

Bersambung...

Hmmm.... Kira-kira gimana ya perasaan Dias. Apakah ia bisa melupakan kekasih yang sudah melukainya. Lalu siapa ya sosok yang ternyata mengintai Dias dan Sam ketika berada di tepi danau?

Penasaran, ya...😁😁😁
Yuk, simak kisah Dias selanjutnya hanya di Rabu Kelabu

Sampai jumpa di part 2,

Salam santun😊😉

Rabu KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang