Part 2: Penghianatan

74 3 11
                                    


Semenjak ia membantu bu Asih menyiapkan makan malam di dapur, Dias lebih memilih berdiam diri di dalam kamar. Kedua tangannya sibuk membolak-balik halaman demi halaman buku catatannya. Hendak menulis sesuatu tetapi bingung apa yang ingin ditorehkan. Ingin ia mencurahkan segalanya di atas hamparan putih itu. Mentransfer segala emosi kedalam bentuk kalimat-kalimat luka. Berharap hati kecilnya dapat menghirup napas lega. Namun sama saja dirinya mengulang kembali momentum yang dimana sempat mengoyak jiwa luar maupun dalam. Bahkan, sampai detik ini, rasa sakit itu masih bisa ia rasakan dengan jelas.

Gadis itu menutup kembali buku kecil bersampul coklat klasik. Dipejamkan mata bak kucing miliknya ke langit-langit kamar. Mengusir penat yang akhir-akhir ini menggelayuti. Saat itu pula, kenangan indah bersama sang kekasih kembali hinggap. Menyapa dan menari. Seolah-olah tengah menertawakan keterpurukannya saat ini.

Hingga... luka itu kembali hinggap, menyapa, dan menawarkan kematian.

                                                                                         

Siang itu di kantin SMA Nusa Harapan, kegiatan berjalan seperti biasa. Canda, tawa, bungkam, suara derap langkah kaki hingga alunan musik mellow pun mengiringi para murid yang sedang menikmati hidangan makan siang mereka. Berbeda dengan Gradias Anastasya, siswi kelas XI-MIA itu lebih memilih menyibukkan diri dengan setumpuk berkas bersama seorang gadis lainnya yang duduk dihadapannya.. Nampak gadis berambut gelombang, yang tak lain sahabat Dias sekaligus wakil team jurnalis, tengah menatap Dias dengan bingung sesekali menyesap jus mangganya. Gadis bernama Gaby Fernanda itu menghela napas pelan, kemudian mulai berpendapat.

"Kalau menurut gue, apa nggak sebaiknya lo aja yang handle jurnalis? Lo tau sendiri, kan, gimana sikap si Venty selama ini? Bisa-bisa jadi ancur nanti jurnalis kalau dia yang pegang" sergah Gaby dengan tatapan memastikan, kemudian kembali menyesap jusnya.

"Iya, sih, gue tau gimana Venty orangnya. Tapi gue takut kalau nggak bisa bagi waktu antara OSIS dan jurnalis. Gue nggak mau salah satunya berantakan gara-gara gue" Dias menghentikan ucapannya dengan nada sedih. Ia menatap Gaby penuh harap, lantas merebahkan punggungnya pada sandaran kursi. Gadis itu benar-benar membutuhkan saran atas masalahnya kali ini. Masih terlalu sulit untuknya mencari jalan keluar.

Tak seperti yang diharapkan, tiba-tiba gaby mengambil tas selempangnya begitu melihat ponselnya. Lantas berdiri menatap Dias dengan yakin dan sedikit penyesalan.

"Gue yakin, kalau gue nggak salah milih lo jadi kandidat ketua jurnalis. Karena lo terlalu istimewa dari yang teristimewa, Mungkin itulah alasan mereka ingin mengajukan lo lagi. Lo pasti bisa yas, gue yakin itu. Sorry, yah, gue nggak bisa lama-lama disini. Bokap udah nyuruh gue balik" ucapnya sedikit tergesa, lantas berlalu seraya melambaikan tangan kearah Dias.

Dias hanya bisa pasrah. Gadis itu pun membersihkan semua barangnya di atas meja, kemudian pergi menuju kelas dengan setumpuk beban yang entah kapan dapat berkurang.

Ketika kedua kakinya sibuk menyusuri koridor di depan kelas XII-Bahasa, tanpa sengaja kedua matanya menangkap seorang lelaki yang sudah tak asing lagi baginya tengah berbincang-bincang dengan beberapa temannya. Ia tahu wajah itu. Wajah yang selama ini selalu mengisi kesenggangan waktu dalam hari-harinya. Senyum khas dari pemuda itu selalu membuatnya tenang setiap saat.

Seulas senyum terbit di wajah Dias. Sedikit tergesa gadis itu memacu langkah menghampiri sang kekasih, hingga akhirnya langkah Dias berhenti tatkala kedua telinganya menangkap pembicaraan keempat laki-laki tersebut.

Dias, terdiam di tempat, terpaku dan terkejut. Senyum manis miliknya berubah menjadi getir. Dan... tetes demi tetes air mata itu mulai mengalir seiring mata pisau yang menyayat hati. Sakit.

Rabu KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang