"Being single doesn't necessarily mean you're available. Sometimes you have to put up a sign that says, "Do Not Disturb" on your heart."–Wiz Khalifah–
***
Selasa pagi setelah melalui hari Senin yang menyiksa. Fara merasa kepalanya hampir pecah karena semua pekerjaan yang menumpuk di atas meja, revisi yang terasa seperti berjuta kali dan berakhir dengan pulang tengah malam namun harus berada di kantor sebelum pukul delapan pagi.
Gila!
Fara hampir bernapas dengan kebencian terhadap Atha di setiap helaannya–tapi tidak sih. Fara tidak pernah menjadi sepembenci itu. Dia tetap menjadi pekerja teladan yang datang pagi hari pada Selasa ini, berusaha duduk nyaman dengan segelas teh hangat di samping komputernya yang sudah menyala.
Baru saja tangannya terulur untuk mengambil gelas, ponselnya sudah berdering nyaring tanpa ampun. Saat itu juga dia menyesal lupa mengaktifkan mode senyap agar bisa berpura-pura tidak tahu sejenak. Kalau begini, mau pura-pura tuli juga percuma. Perasaannya keburu tidak enak saat melihat nama penelepon yang muncul di layar ponselnya.
"Assalamu'alaykum. Halo, Pak?" Fara nelangsa dalam hati ketika tangannya bergerak lebih cepat dari pada otaknya, mengangkat telepon dari Atha secara terpaksa memang bukan yang pertama kali sih.
"Cek e-mail kamu." Perintah Atha di seberang sana setelah menjawab salam yang Fara lontarkan.
"Iya, Pak." Jawab Fara patuh. Bisa apa lagi memang selain mengiyakan? Nasib kacung namanya juga.
"Ra."
"Ya, Pak?"
Fara mengerutkan dahi. Sudah berlalu beberapa detik setelah dia menyahut, tapi Atha belum juga bersuara. Dijauhkannya ponsel dari telinga, mengira barang kali sambungan mereka terputus. Dan kerutan di dahi Fara semakin dalam saat melihat angka durasi panggilan di layar ponselnya masih terus berjalan. Mereka masih terhubung.
"Pak, halo hai, halo hai?" akhirnya Fara memutuskan untuk menyapa, siapa yang tahu kan kalau-kalau ternyata di seberang sana Atha lupa kalau sedang meneleponnya. Tapi ya tidak mungkin sih.
"Ya sudah, itu saja." Lalu sambungan terputus. Tanpa lanjutan. Tanpa penjelasan. Tanpa salam.
Fara bengong di tempat, merasa jengkel sekaligus penasaran campur bingung. Tadi jelas-jelas Atha memanggilnya sekali, seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi disetelah disahuti justru seperti orang amnesia, seolah Atha tidak pernah memanggil Fara sebelumnya.
Mendengus sebal, Fara meletakan ponselnya ke atas meja secara sembarangan lalu melanjutkan niatnya minum teh yang tadi sempat tertunda karena kelakuan Atha yang tidak penting. Menelepon hanya untuk menyuruhnya melihat e-mail. Tanpa disuruh juga Fara akan lihat kok, toh ada notifikasi yang memang sudah dia lihat sejak tadi.
Fara asik mendumel sendiri dalam hati, meneguk tehnya dengan semangat berlebih hingga habis setengah gelas. Setelah itu dirinya kembali memelototi layar dan melakukan apa yang tadi Atha perintahkan.
Tapi semenyebalkan apapun Atha, Fara heran kenapa dirinya sedikit pun tidak pernah berniat resign. Begitu juga Tio dan Ririn, serta beberapa karyawan lainnya. Padahal mereka sama-sama sering dongkol dengan Atha, bahkan kadang secara terang-terangan memaki Atha ketika mereka sedang berkumpul di salah satu kubikel saat mulai muak dengan segala pekerjaan, tapi tentu saja tanpa sepengetahuan Atha.
Mungkin pada akhirnya memang harus diakui, semenyebalkan apapun Atha ... Lelaki itu tetap atasan yang cukup baik dan berlapang dada, seperti mentraktir makan siang di pertengahan bulan atau bahkan bersedia meladeni sikap Fara yang kadang nyeleneh di tengah-tengah jam sibuk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Single
RomanceTidak ada yang salah dengan menjadi single hingga usia duapuluh sembilan tahun. Fara Nashwa Azzahra meyakini hal itu. Tapi keluarga dan masyarakat, tidak sejalan dengan pemikirannya. Dia mencintai dirinya sendiri, itu sebabnya ... Fara merasa bahwa...