01

554 86 34
                                    


Malam itu adalah salju pertama di tahun 2014, saat Jihoon pertama kali memulai sesi konsultasinya dengan Soonyoung. Jihoon merekam dengan jelas dalam ingatannya. Saat itu pukul delapan dan asisten sang dokter, bername tag Lee Chan, terlihat sedang membereskan beberapa kertas ketika Jihoon membawa tubuhnya masuk.

"Aku.. itu.."

"Ya, ada yg bisa saya bantu?"

"Apakah saya bisa konsultasi?"

"Apakah anda sudah membuat janji? Boleh saya tahu nama anda?"

"Jihoon. Lee Jihoon. Saya belum membuat janji. Dan ini pertama kali saya datang."

Lee Chan tersenyum mengerti. Kemudian mengetikkan nama Jihoon di komputer sudut meja.

.
.

Ruangan konsultasi nya bernuansa klasik. Dengan gorden warna maroon yg senada dengan meja dan lemari buku di sisi kanan ruangan. Kau tahu, wangi ruangan ini sangat familiar, entah mereka memakai pengharum merk apa, tapi wanginya mirip toner kelopak mawar yg dulu sering Jihoon gunakan. Lembut dan menentramkan.

Jihoon tidak yakin apa ia harus duduk atau berdiri, tapi sofa berwarna cokelat tua di tengah ruangan tampak empuk. Mungkin tidak ada salahnya jika Jihoon duduk, toh ia habis berjalan dua blok untuk mencapai tempat ini tadi.

Seseorang mengetuk pelan pintu ruangan tersebut saat Jihoon tengah asik memperhatikan beberapa judul majalah di meja. Tampak laki-laki dalam balutan kemeja putih dan celana motif kotak-kotak berdiri di sana, menatap kearah Jihoon dengan kacamata bertengger di hidungnya. Pria itu mengulas senyum. Seakan meminta izin kepada Jihoon untuk masuk.

"Nona Lee Jihoon? Maaf membuatmu menunggu, aku harus mencuci tanganku dulu tadi."

Jihoon hanya mengangguk, tanda mengerti.

"Aku Kwon Soonyoung. Senang berkenalan denganmu."

Tidak ingin dianggap tidak punya tata krama, membuat si gadis menerima uluran tangan tersebut walau sebenarnya ia sedikit tidak nyaman dan gugup.

Sempat Jihoon berkeinginan untuk mencari psikiater wanita saja, tetapi klinik ini adalah yang terdekat dengan jarak apartment nya. Dan segala yang dekat dengan rumah pasti akan menjadi pilihan utama Jihoon. Semakin jauh, semakin berbahaya, pikirnya.

Terbebas dari lamunan setelah dokter pria itu mempersilahkannya duduk, Jihoon memilih tempat yang sedikit berjauhan. Agaknya pria ini paham bahwa Jihoon masih belum terbiasa dan hanya tersenyum kecil melihat gadis itu bergeser sedikit menjauh. Terlihat tidak berniat untuk mempermasalahkannya.

"Nona Lee Ji.."

"Tolong Jihoon saja."

"Baiklah, jika itu membuat anda lebih nyaman. Jihoon."

Jihoon melihat bagaimana pria ini tersenyum kecil diujung kalimatnya.

"Bisa jelaskan tentang dirimu, Jihoon? Apa hal yang mengganggumu?"

.
.

Jihoon tahu bahwa tidak terbuka dengan therapist mu hanya akan membuang uang dan waktu. Tapi membutuhkan lebih dari sekedar keberanian -dan keputus-asaan jika boleh menyebutnya begitu- untuk mulai mengupas sisi terdalammu.

Empat sesi pertama berujung pada kesimpulan semu, Jihoon hanya bercerita tentang kesehariannya tiga bulan belakangan yang menurutnya sangat sulit untuk dilalui.

Tentang bagaimana dia kehilangan minat untuk menulis lagu. Bagaimana dia tidak ingin mengajar. Bagaimana alat musik dan kanvas tidak lagi menggembirakan. Bagaimana malam terasa sangat panjang dan penuh kesedihan yang dia tidak tahu sebabnya. Yang menurut analisis sementara sang dokter adalah depresi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The light behind your eyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang