Thank You

88 13 0
                                    

781 words


"Kudengar kau sangat sibuk malam ini." Haesoo membanting pantatnya di sofa, tepat di sebelah Jungkook yang begitu sibuk menekuri laptop.

"Dua laporan harus kuberikan pada bos besar besok pagi. Terkutuklah Kim Namjoon yang tiba-tiba harus menginap di rumah sakit. Dia itu jenius tapi kalau ceroboh ya sama saja merepotkan orang lain."

Laki-laki yang baru saja mewarnai rambutnya merah gelap itu menggerutu tanpa mau repot-repot menatap lawan bicara.

"Maklumilah sedikit. Si Jenius itu pekerjaannya paling sulit, tahu." Haesoo menyandarkan kepalanya di sofa.

"Mana ada! Siapa disini yang harus bertanggungjawab untuk semua pekerjaan Kim Namjoon dan Kim Taehyung?" Demi menujukkan kejengkelannya, laki-laki bergigi kelinci itu menekan keyboard dengan keras. "Kau seharusnya berterimakasih karena aku mempermudah pekerjaanmu."

Haesoo tertawa ringan. "Bukannya memang itu gunanya anak buah; meringankan pekerjaan?"

"Wah, serius?" Jungkook menengadah, menampakkan ekpresi menahan kesal yang sedikit dramatis. "Tidakkah di saat seperti ini kau merasa perlu mengatakan; ah bukankan itu gunanya teman? Setidaknya itu tidak terdengar begitu jahat."

Haesoo menggeleng. "Aku tadinya merasa perlu untuk membantumu. Tapi kalau kau bisa mengatasi pekerjaan Si Jenius Kim Namjoon, harusnya aku tidak perlu membantumu lagi."

Balasan malas dari Haesoo membuat laki-laki bermarga Jeon itu menebak dengan mudah kalau lawan bicaranya ini mengantuk, malah sudah memejamkan mata. Ia tidak merasa perlu untuk menengok untuk membalas,  "Kalau kau mau membantu, tidur di kamarmu sana. Kau tidak bisa diam meski sedang tidur. Untuk memindahkanmu juga perlu tenaga ekstra."

Haesoo mendelik kesal ke arah laki-laki itu, kemudian beranjak dari sofa. "Penebar berita hoax. Aku selalu tidur dengan tenang. Dan ah, aku bahkan merasa berat badanku berkurang."

Jungkook mendengar Haesoo melangkah menjauh. Tapi laki-laki itu berani bertaruh kalau Si Anak Bos Besar itu tidak berencana untuk kembali ke kamarnya.

"Memangnya kau sadar dengan apa yang kau lakukan kalau kau sedang tidur?"

"Jeon, dimana kau sembunyikan selimut bergambar kelinci kesayanganku?" Haesoo jelas tidak merasa perlu untuk meladeni ucapan Jungkook barusan.

"Kubuang. Kembali ke kamarmu saja lah, Soo."

Baik Jungkook maupun Haesoo tahu, kalimat usiran bernada tidak ikhlas itu bukan jenis kalimat yang perlu diberi atensi.

"Aku mau tidur sambil melihatmu bekerja."

Tahu-tahu, Haesoo sudah kembali ke sofa ruang tengah, menenteng selimut berwarna putih dengan motif kelinci berwarna merah muda. Sejurus kemudian, pemutar musik di ruangan itu sudah mengalunkan lagu intrumen piano dan cello.

"Kalau teorinya belum berubah, matamu terpejam saat tidur." Jungkook membalas sekenanya. Kemudian yang ia dengar selanjutnya hanya dengusan kesal dari Haesoo yang tengah memposisikan diri duduk memeluk lututnya menghadap Jungkook, lengkap dengan selimut tebal bergambar kelinci yang membuatnya terlihat seperti sebungkus Marshmallow.

"Kalau dilihat dari sudut pandangku begini, kau benar-benar laki-laki sempurna, Jeon." Haesoo berkata pelan, seolah bersiap untuk memasuki dunia penghantar tidur.

"Aku terlihat sempurna dari sudut manapun." Jungkook menyombong sekenanya.

"Aku serius." Haesoo mengeratkan selimutnya sembari meneliti laki-laki yang masih saja menekuri benda lipat berbentuk persegi itu. "Kau benar-benar terlihat sempurna saat sedang bekerja. Seakan-akan kau terlahir dengan segudang bakat dan kemampuan. Lalu hanya dengan sekali pandang saja, boom! Perempuan manapun akan jatuh cinta padamu."

Jungkook mengangguk beberapa kali. "Sayang sekali kau satu-satunya wanita lajang yang rasa-rasanya bekerja denganku atau setidaknya melihatku bekerja selama rata-rata 22 jam setiap harinya. Aku mengurangi 2 jam untuk mandi dan keperluan pribadi. Dan itu sama sekali tidak membuatmu jatuh cinta padaku."

"Karena bagiku kau masih Jeon Jungkook yang menangis meraung-meraung setelah kucakar saat kita berebut komputer sewaktu di bangku sekolah dasar."

Jungkook memutar bola mata malas kemudian memotong, "Aku malah masih suka mengomel kalau melihat bekas cakaranmu di wajahku yang luar biasa tampan ini."

Haesoo terkekeh ringan, mengambil jeda sebentar.

"Kau, masih Jeon Jungkook yang diam-diam menangis di meja makan karena kelelahan. Melihatmu terlihat sempurna begini hanya membuatku mengingat kesulitan yang kau lalui sebelumnya." Haesoo membuang napas pendek. "Ya, dimataku kau sama sekali tidak sempurna."

"Baguslah. Aku terdengar manusiawi dari sudut pandangmu." Jungkook berhenti mengetik, mengambil ponselnya untuk memastikan beberapa pekerjaan yang baru saja diingatnya.

"Jeon,"

"Hm." Laki-laki itu mengetik cepat di ponsel, lantas kembali meletakkan benda tipis itu di atas meja.

"Terimakasih untuk selalu buru-buru memukulku dengan sepatu setiap kali aku ingin memanggang kepalaku di oven."

Kalimat bernada pelan yang keluar dari mulut Haesoo membuat Jungkook mengalihkan atensi dari pekerjaan, memandang manusia berbungkus selimut di sampingnya. Laki-laki tersebut lantas mempersempit jarak wajah mereka. Menghela napas pelan, ia membalas, "Aku tidak akan kemana-mana, kok. Tenang saja."

Haesoo mengerjap pelan ketika Jungkook meniup sepasang kelopak matanya. "Cepat tidur. Besok kubuatkan waffle dengan madu, oke?"

Dengan suara serak, perempuan itu membalas, "Pastikan saja besok pekerjaanmu selesai. Aku punya firasat kita akan makan banyak sekali waffle."

Jungkook menarik diri menjauh sembari memutar bola mata malas, "Ya, semoga saja aku tidak mual besok."

DaydreamsWhere stories live. Discover now