2831 words
[BIG SPOILER OF THE DEATH CURE]
"Inilah yang tidak kusuka darimu kalau kau sudah mendeklarasikan diri sedang sibuk. Jangankan untuk bicara atau mengangkat bokongmu, bernapas saja rasanya tidak sempat."
Aku berujar lantang setelah 10 menit hanya berkedip dan bernapas sembari memperhatikan satu-satunya pria di ruangan ini dengan tangan bersidekap. Hal yang terjadi berikutnya, sepasang mataku memejam sebentar, mencoba merasa lebih maklum dengan kelakuan manusia yang sibuk menekuri kertas sketsa tanpa mau merepotkan diri untuk sekedar menoleh atau melirik ke arahku.
"Jeon Jungkook!"
Oke, aku menyerah. Pada akhirnya aku berteriak dan menatapnya takjub. Sebagai respon, pria yang kupanggil itu mengambil remote di sebelahnya dan menekan salah satu tombol. Kemudian, viola! Lagu Green Day mengalun dengan volume keras.
Mulutku menganga, sepasang irisku menatap ke sembarang arah kemudian indera penciumanku membuang napas sebal. Aku tidak yakin dia mendengarnya karena lagu lama yang menurutku mengganggu itu cukup memenuhi gendang telinga. "Kreatif. Tapi aku tidak akan pergi."
Mengabaikan Jungkook yang masih setia membuat sketsa tanpa memberi atensi untuk kedatanganku, aku memilih untuk berjalan menuju single sofa di depannya sembari berujar keras-keras, "Oke, yang pertama aku mau bilang kalau selera musikmu benar-benar payah. Yang kedua, kau benar-benar harus menata ulang ruang kerjamu."
Segera setelah tote bag-ku mendarat di sofa, sepasang irisku mengarah padanya.
"Ruang kerja seorang ilustrator seharusnya selalu terlihat baru dan fresh. Bagaimana kau bisa mendapat ide baru kalau ruanganmu benar-benar terlihat.." Aku menatap sekeliling. "..muram."
"Meja itu sama sekali belum dipindah sejak tiga tahun terakhir. Kursi usang itu juga, kenapa tidak dibuang saja? Oh, kupikir wallpaper-mu perlu diganti secepatnya. Dan, sebaiknya kau membeli penyimpanan untuk merapikan semua peralatanmu."
Aku menunjuk satu-persatu benda yang kukomentari tanpa menatap pemiliknya, sementara kakiku berjalan menuju rak di sudut ruangan. Kuambil setoples kecil permen coklat warna-warni kemudian menghampiri Jungkook. Laki-laki bermarga Jeon ini sukses menggeram pelan setelah aku membanting pantatku di sampingnya karena sofanya bergoyang.
Sejurus kemudian, aku mengambil alih remote untuk mematikan musik yang benar-benar membuat telingaku mau iritasi. Geen Days bukan salah satu band yang kusukai, oke? Dan tentu Jungkook tahu itu dengan baik.
Sebagai gantinya, aku mengambil remote lain untuk menyalakan TV dengan volume sedang. Setelah menemukan acara game show, kuletakkan benda serupa ponsel itu di meja.
"Mau apa kau kesini?" Jungkook bertanya dengan nada datar, masih dengan posisi yang sama.
Aku mengangguk dua kali sembari membuka toples."Kau bicara. Progres."
Ketika aku mengambil satu butir permen berwarna kuning dan mengunyahnya, aku mendengar manusia di sampingku ini menutup buku sketsa dan meletakkan peralatannya di meja. Helaan napasnya masih berhasil menembus gendang telingaku. "Dan sekarang kau mendapat perhatianku."
"Seperti biasa." Aku menjawab seadanya, tanpa berencana untuk menatapnya. Sampai kemudian dia menarik tanganku yang baru saja akan menyuap permen coklat.
Sedikit menunduk dan memakan permen berwarna merah ditanganku, ia kemudian berujar, "Aku lapar."
Aku menggeleng pelan melihatnya sudah duduk menghadapku, dengan siku yang bertumpu pada sandaran sofa untuk menopang kepalanya. Aku lupa mengatakan kalau Jungkook memiliki aturan pantang makan sebelum pekerjaan selesai. Haha, yep. Aku orang kedua yang bisa membuatnya mematahkan aturan itu setelah Bibi Jeon.
YOU ARE READING
Daydreams
Fiksi Penggemar"Everything starts as somebody's daydream." - Larry Niven 281218 -