Pluem membalik halaman buku di hadapannya untuk yang kesekian kalinya. Suara detik jam terdengar secara teratur, mengisi heningnya suasana perpustakaan yang begitu akrab di telinga. Matanya masih setia menelusuri lembaran demi lembaran kertas, terlihat datar dan sedikit jenuh.
Membosankan.
Satu kata itu cukup menggambarkan bagaimana suasana hati dan kehidupannya saat ini.
Buku, perpustakaan, olimpiade, piala, kertas, alat tulis, penghargaan—semua itu sudah melekat pada dirinya entah sejak kapan. Orang-orang menyebutnya jenius; walau ia sendiri tak merasa begitu. Setiap hari selalu ia habiskan di perpustakaan, bercengkrama dengan rak-rak penuh debu dan bermacam buku yang tebalnya menandingi kamus oxford. Kalau bukan karena jus wortel yang dulu selalu diberikan mamanya setiap pagi, ia pasti sudah memakai kacamata yang tebalnya kurang lebih sama dengan buku di hadapannya ini.
"Hey," Sebuah suara menyadarkan Pluem dari lamunannya. "Sudah jam 3, kau tidak pulang? Jangan bilang kau akan diam disini sampai gelap."
Ia merasakan sebuah tepukan di punggungnya, disusul suara deritan kursi.
"Sebentar lagi. Kau duluan saja," Jawab Pluem tanpa mengalihkan pandangannya.
Janhae, gadis yang diajaknya bicara, mendengus.
"Kau tidak perlu belajar mati-matian begini, tahu? Kau itu jenius. Tanpa belajar pun aku yakin kau bisa menang,"
"Oh ya?" Pluem memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. "Sekarang kutanya. Kalau kau ingin menjawab soal trigonometri, tapi tidak tahu cara mengalikan bilangan, apa kau bisa menjawabnya?"
"Kau menyindirku?" Janhae melempar tatapan mematikan kepada pria di sebelahnya.
Pluem, dengan wajah tak bersalahnya, mengangkat bahu.
"Itu beda lagi persoalannya, ya Tuhan," Janhae mengerucutkan bibirnya. "Sudah kubilang kau ini jenius. Tidak bisa disamakan denganku yang mengalikan bilangan saja tidak becus."
Pluem tertawa kecil, tangannya bergerak menutup buku yang telah menemaninya sejam belakangan. "Baiklah, baiklah. Tunggu disini, aku ingin ke toilet."
Wajah Janhae berubah ceria. "Jadi, pulang bersamaku hari ini?"
"Siapa bilang?"
"Aow, kalau begitu untuk apa kau menyuruhku menunggu?"
Pluem tertawa kecil. "Bercanda," Ia berdiri dari kursinya. "Kalau aku kalah dalam olimpiade bulan depan, itu salahmu."
Janhae terkikik, mengikuti gerak-gerik Pluem dengan matanya. "Tidak akan. Percaya padaku, kau tidak akan kalah."
*
"Kau kalah!"
Nanon menengadahkan telapak tangannya. "Mana, uangku."
Pria di sebelahnya berdecak, sembari tangannya bergerak meraba kantong celana. "Kau curang, man."
"Tidak ada kata curang dalam kamusku, man," Nanon tersenyum lebar sambil menerima beberapa lembar baht dari tangan lelaki itu. "Aku hanya cerdik."
"Katakan itu pada lubang hidungku."
"Ayolah, Plustor," Nanon melompat berdiri. "Apa susahnya mengakui kehebatan temanmu yang satu ini?"
"Sudah kubilang, jangan bertaruh dengannya. Kau akan kalah telak," Nanon tertawa, menepuk bahu Prame yang barusan berbicara.
Plustor hanya mendengus, membiarkan kedua temannya menertawai dirinya hingga puas. Hal ini bukan terjadi sekali-dua kali, melainkan terlalu sering sampai ia tidak ingat kapan terakhir kali memenangkan taruhan. Ia tidak tahu apa yang membuat si sialan itu selalu menang—seseorang sepertinya lebih cocok dikatakan licik dari pada cerdik. Yang jelas, ia kapok. Si tukang curang sialan itu telah membuat uang bulanannya menipis dengan sekejap dan ia tidak akan membiarkan dia membobol dompetnya lebih lama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgiven
FanfictionBagi Nanon, hanya ada tiga hal yang paling ia benci di dunia ini. Mereka adalah serangga, Pluem, dan Chimon.