SURAT UNTUK SI HITAM MANIS
S.G Roringpandey
Di ujung bebatuan, dimana ombak pasang berbenturan dengan daratan. Aku duduk dengan kaki melipat di dada, melihat laut yang mulai berbayang. Pusat orbit bumi pun, sudah tenggelam setengah dan sahabat terbaikku mulai menjadi hitam. Tubuhku disambar tak henti-henti oleh angin laut, membuat jiwa seakan ikut terhanyut. Kegelapan kemudian menghampiri, menggantikan nirwana yang tadi kusinggahi. Laut dan langit telah menyatu di ujung pandangan, membuatku terhipnotis oleh gemerlap bintang. Sementara lampu pijar nelayan, kunggap bintang yang tersesat; jujur tidak bisa lagi kubedakan.
Langkahku pelan menyusuri bebatuan, sampai tubuhku duduk nyaman di atas kuda pacu yang sedari tadi menunggu. Jalanan kota tak begitu ramai, mungkin karena sekarang sudah hampir tengah malam. Tubuhku ambruk sempurna di atas kasur istana kecilku. Pikiranku terus melayang, membayangkan sesuatu yang sulit kujelaskan.
"Besok seleksi PEKSIMINAS," kata-kata itu keluar begitu saja, "dan malam ini aku masih bingung harus menulis apa," sampai mataku terasa berat.
Handphoneku berdering berkali-kali, tanganku lemas meraihnya di atas meja kecil di samping kasur. Pandanganku masih mencari-cari,
"Halo?"
"Woy, dimana?"
"Dimana? Dimana apanya?"
"Kamu dimana?"
"Ohh," kataku sambil mengangguk.
"Woy Ohh, PEKSIMIDA sudah mau mulai!"
"Terus?"
"Ehh kamvreiitt, cepat kesini!"
Pandanganku melongo melihat langit-langit rumah, mencari-cari maksud dari kata-kata Wenvhy74. Ya, itu panggilan akrabku padanya. "Tunggu..." gumamku, setelah menyadari sesuatu. Ponsel yang kupegang kuarahkan ke depan wajah, "Waduh..."
"Cepat bangun Hizkia!!!" teriaknya dari dalam telpon.
Langkahku tergesa memasuki Auditorium universitas negeri kota ini. Nafasku masih terburu saat mengambil tempat duduk di bagian depan, di samping Wenvhy74 dan Indah, teman se-organisasiku. Mereka menatapku pasrah, seakan ingin berkata, "kebiasaan macam apa yang kau pelihara." Aku meresponnya dengan senyum seolah tanpa dosa.
Belum berapa menit aku duduk, pembawa acara mengarahkan setiap peserta mengambil tempat masing-masing. Untuk cabang lomba pertunjukan tetap di sini, karena panggung di depan adalah milik mereka, sementara seni rupa diarahkan ke lantai dua, begitu juga dengan bidang penulisan.
Aku berdiri dan berjalan ke samping dekat tangga, sesuai intruksi, sementara Wenvhy74 dan Indah mengikuti dari belakang. Ya, kami sama-sama di bidang penulisan; Wenvhy74 lakon, Indah puisi, sementara aku cerpen. Kulihat, beberapa anak dari universitas lain mendekat, ya, mereka adalah lawan-lawan kami. Aku memperhatikan satu per satu, sampai tatapanku terhenti... gadis dengan rambut sebahu yang dikucir satu, berjalan di belakang beberapa orang; kutebak mereka satu universitas. Tak sempat kami berkenalan, karena langsung diarahkan ke lantai dua.
Pikiranku buntu begitu saja. Lingkungan yang berantakan penuh debu, panas, dan segala hal yang pastinya membuat ide menulis buyar begitu saja terpampang di depan mata. Aku mengambil inisiatif mengumpulkan anak-anak, untuk mengeluhkan tempat lomba. Dan inisiatif itu membuatku mendapatkan bonus, selain kami dipindahkan ke ruangan berAc, di belakang panggung.
Aku akhirnya mendapatkan judulnya, judul dari sebuah ciptaan yang sempurna, yang lahir dari distraksi antah-berantah. Ingin rasanya aku berbisik pada semesta, "Terima kasih untuk kesempatan ini," dapat melihat wujud yang lama kucari-cari. "Apriliana" judul itu terus berulang-ulang di kepalaku, meski pandanganku terpaku di layar 13inci. Sudah setengah jam berlalu sejak aku mulai menulis, tapi layar laptop masih putih tak berbintik sedikit pun. Hari semakin sore dan aku masih belum menulis apa pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Senja
RomanceSenja... Laru lara Dalam diam tertanam jingga Merah merona langit barat Menjelang hayat sang surya Samar cahaya terindah Merusak ritme hembusan Lesung pipit mencuat Setengah berbayang bentuk rupawan Kontraksi antar dimensi Di bawah baskara Hari bers...