Bagian Kedua

433 29 2
                                    

Hari demi hari sejak chat singkatku dengan Al membuahi kedekatan sebagai teman berbagi cerita. Apapun aku ceritakan padanya juga sebaliknya. Dimulai dari cerita masa lalu yang kelam, cerita keinginan di masa depan, dan sebagainya.

"Jadi gak Al?"

"Kemana?" Al menjawab dengan ekspresi yang pura-pura kebingungan, menyebalkan.

"Ih tadi ngajak jalan dulu," jawabku dengan nada sedikit merengek sembari cemberut.

"Tadi gua ngajak kemana emang?" untung aku sabar.

"Tau ah." aku memalingkan wajah dan cemberutku bertambah.

"Gausah cemberut." Al mengusap wajahku setelahnya menarik tanganku.

Menyusuri jalanan ibu kota di sore hari tidak menyenangkan menurutku, harus melewati kemacetan karena memang jam nya siapapun yang beraktivitas diluar pulang ke rumah. Kuda besi Al menyelip-nyelip diantara kendaraan yang tersusun memenuhi jalanan, itu yang membuatku senang.

Sampailah di sebuah tempat yang entah dimana, tapi disini aku bisa melihat indahnya Kota Bandung dihiasi senja.

"Tunggu ya."

"Eh kemana?" aku bertanya bersamaan dengan kepergian Al entah kemana, dasar Al.

Aku ingin menikmati senja sore ini. Karena senja aku terpikir, senja datang membuatku terpukau, dia indah aku senang memandanginya. Apa akan sama dengan Al? Indah yang menyenangkan, namun akhirnya pergi.

"Heh!" aku terlonjak, lamunan ku menatap senja buyar. Al memang benar ya menyebalkan.

"Kaget tau gak ih."

"Iya maaf, lu nya ngelamun sih."

Al menyodorkan sebuah bungkus minuman berperisa matcha, ah i love it.

"Makasih Al," kataku sembari menyegir gemas - gemas ingin menabok.

"Yooo." Al menyeruput minuman berperisa choco banana miliknya, kami sama-sama diam dalam pikiran masing-masing. Sesekali kami menatap senja juga menikmati setiap desiran angin sore.

Seperti inipun senang rasanya hatiku, hanya sekadar duduk menikmati senja yang disuguhi minuman kesukaan masing-masing.

Aku merasa nyaman dengan Al, kini semangat sekolahku adalah Al. Mungkin aku jatuh hati padanya entah hanya sekadar suka. Entahlah, yang intinya aku selalu merasa senang bila dekat Al.

Buku ku akhirnya terisi dengan coretan bahagia bersamanya, tidak kosong seperti awal masuk SMA.

Seperti menemukan obat untuk lukaku yang beberapa bulan lalu dibuat oleh mantan pacarku, kini aku senang, bahagia. Namun, apakah dia pun sama sepertiku? Aku hanya takut rasaku bertepuk sebelah tangan.

Jika tanpa dia tahu bisa membuat aku selalu bersamanya, aku mohon untuk kuat memendam rasa ini.

Terhitung banyak hari aku lewati bersama Al, banyak suka yang aku rasakan berkat Al. Kami semakin dekat, rasaku semakin tumbuh, hatiku pun semakin membuncah oleh hatinya.

Bahagia dibalik rasa yang aku sembunyikan tak apa, daripada Al harus tahu dan membuat semua hancur.

Intinya saja, aku bahagia melewati masa awal masuk SMA ini, hingga suatu hari aku melihat Al bersama Yola.

".... gua sayang sama lu Al." Yola terisak dalam dekapan Al.

"La, lu tau kan gua juga sayang sama lu."

Siapapun itu tolong bangunkan aku dari tidur siangku dibangku kelas saat istirahat tadi. Katakan ini hanya mimpi, hanya mimpi.

Apa ini yang namanya mencintai namun tak dicintai? Aku merasakannya. Aku terlihat biasa saja, namun air itu tak bisa ditahan yang membasahi pipi, segurat senyum tetap ku ukirkan walau sakitnya tak bisa dibohongi.

Sekarang aku harus bagaimana? Maju, menyakiti Yola juga Al mungkin yang tak bisa bersama Yola. Mundur, aku yang kembali merasakan luka.

Seperti gugur sebelum berperang, belumku mendapatkan Al sudah menyerah terlebih dahulu. Ingin menertawai diriku sendiri, jelas kemarin Al hanya menganggap aku teman berceritanya tak lebih.

Bagaimana pun aku harus sebisa mungkin terlihat biasa saja pada Al juga Yola.

Memulai untuk menerima, harus menerima. Semoga rasaku hilang terbawa oleh waktu dan keadaan. Semakin aku melihat Al dengan Yola, harus semakin bisa mengusir rasa ini.

"Hei!" aku terlonjak, kebiasaan memang Al.

"Al gua kaget ih," kataku dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Ya maaf dong, kantin gak? Yang lain udah otw." seperti biasa, hampir satu kelas ke kantin bersama saat istirahat. Tapi ya selalu aku berdua dengan Al.

"Lagi gak mau ngantin deh." entah menyadari atau tidak, aku memasang muka malas sambil memalingkan wajah.

"Tumben, biasanya semangat kalau ke kantin."

"Ya lagi males aja, udah lu kantin aja sana kan lu belum makan." aku sedikit mendorong Al agar enyah dari bangku disampingku.

"Hm yaudah deh gua duluan." Al pun pergi menyusul yang lain ke kantin.

Setiap melihat matanya, mendengar suaranya, melihat bibirnya berbicara, ah hatiku rasanya perih. Lebay sekali aku, tapi ini benar adanya, merasa tak mau lagi kenal dengan Al namun itu akan membuat Al terheran dengan ketiba-tibaan berubahnya aku.

Aku harus bisa tetap menjadi teman berceritanya, pendengar baik cerita-cerita yang ia ceritakan, dan menceritakan apa yang aku rasa uhm maksudku tetap seperti dulu, aku yang selalu bercerita pada Al.
Sudahlah, aku ingin rehat.

Hari-hari pun berlalu, aku yang sepertinya berubah dirasakan oleh Al.

"Ben, pulang bareng ya." aku menepuk pundak Beben yang sedang memakai helm nya di parkiran.

"Lho? Gak sama Al?" alisnya bertautan, kebingungan.

"Gak ah, yo pulang."

"Bentaran deh, kuncinya ketinggalan di kelas kayanya." Beben yang sudah memakai helm harus membukanya lagi karena kepikunan dirinya sendiri. Akupun menunggu di parkiran dekat sepeda motor Beben.

Di sana, di koridor kelas X IPA C aku melihat Al bersama Yola sedang berbincang serius sepertinya, seperkian menit Yola meninggalkan Al. Tinggallah Al sendiri di sana, dan mata itu menatap mataku yang sedang menatapnya. Ku segerakan memalingkan wajah berpura-pura melihat yang lain.

Beben akhirnya datang, menyudahkan kegugupan aku saat tertangkap basah sedang menatap Al.

"Yo Ben ah." ku naiki sepeda motor milik Beben, aku meilhat sedikit Al menatapi aku dan Beben yang pulang bersama, ah sudahlah.

Keesokannya bahkan hari-hari berikutnya, aku merasa sudah sangat jauh membuat jarak dengan Al. Tak ada lagi saling bertukar cerita, saling meledek setelah bercerita, jangankan seperti itu hanya sekadar untuk saling menyapa pun tak ada.

Mungkin Al bingung dan tak tahu harus bagaimana menyikapi aku yang menjarak seperti ini, selain dia pun sama membuat jarak.

Mungkin memang seperti ini kisahnya, aku harus menjadi teman yang berjarak dalam satu kelas dengan Al.

Tak menyesali apa yang telah terjadi, jalani saja seperti ini adanya. Mungkin suatu saat semua akan berubah, atau mungkin juga akan seperti ini seterusnya.

Buku ku tak semua isinya indah, kini ada hal yang tak diinginkan yang memang harus ada dalam buku ku.

———

I'm comeback! Baru banget beres nulis langsung pub wussss wkwk, tanpa editing dulu jadi ya nge feel ngga, nyambung ngga, gaje iya kayanya:( maaf jika terdapat unsur ke typo an hehe. Dapetin ide ini harus guling-guling di tanjakan endog sampe kejedot amnesia dulu ahahaha. Iya semoga suka sama lanjutannya, semoga terbayar buat yg nanya "kapan next lagi?" mwhee. Jangan lupa tinggalkan jejaknya! Saran dan kritiknya boleh ya. 

Luv,
Eka.

Al dan El [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang