Saya, gadis 29 tahun yang tinggal di kota metropolitan dengan segala hiruk pikuk modernitas dan kebebasan yang tinggi. Sebetulnya, saya berfikir apa masih pantas menyebut diri dengan kata gadis, karena tahun depan umur saya sudah kepala tiga.
Tolong jangan tanya saya dengan pertanyaan kapan atau kenapa. Karena bibir saya sudah terlalu lelah tersenyum menjawab pertanyaan tersebut. Percayalah kalau pertanyaan itu berbentuk obat maka saat ini saya sudah masuk rumah sakit akibat overdosis. Jadi tolong sekali lagi saya peringatkan untuk tidak bertanya.
Lagi hari ini, orang tua saya meminta saya untuk menghadiri acara bulanan keluarga dan ini mulai terasa sungguh memuakkan. Sejujurnya saya senang bisa berkunjung dan bersilaturahim dengan mereka semua. Karena kumpulan bulanan ini jadi ajang berkumpulnya kerabat jauh yang rasanya mustahil untuk dikunjungi sebulan sekali. Saya juga senang karena ramai keponakan juga sepupu kecil, anak-anak dari kerabat orang tua saya.
"Bulan depan, aku mau nikahin anakku yang kedua, minggu kedua" Terjadilah saut-menyaut dari telinga - telinga yang mendengar weworo tersebut. "sama siapa", "orang mana", "kerja apa?" "kerja dimana?" "wahh hebat yaa bisa dapet orang ini, kerja disini" begitulah kira-kira pamer panjang ini dimulai.
Hampir semua mertua yang ikut campur dalam perbincangan itu mulai ikut menaikan derajat sang menantu secara tiba-tiba. Sedangkan para menantu di belakang hanya senyum-senyum sambil berkata iya, iya. Entah karena senang dipuji mertua atau justru terbebani karena nyatanya tidak setingggi bualan mertuanya. Saya hanya mengamati sebelum akhirnya dicekoki juga dengan pertanyaan oleh tante Riana, tanteku yang membuat pengumuman tadi
"Hana, bisa datang kan?" tanyanya
"Iya tan, kalo weekend insya allah aku bisa dateng" belum luntur senyum saya, tante saya yang lain tiba-tiba berkomentar "Jadi, kamu kapan? besok bawa aja calonnya, sekalian kenalin ke keluarga" hati saya mendadak mencelos, senyum saya luntur berganti bola mata yang berputar jengah. Well, tentu saya tidak melakukannya di depan tante saya karena tata krama. Posisi saya saat ini menyampingi beliau, hanya saya juga sangsi kalau dia tidak menyadari bahwa saya sedang mendesah jengah. Permintaan itu hanya saya timpali dengan senyum simpul gemas.
Bukan tidak pernah menjalin hubungan, hanya saya baru saja putus dua bulan lalu. Beranjak umur 30 tahun tidak menutup seseorang bertingkah egois. Percayalah, seprofesional dan dewasa orang yang anda lihat di kantor dan rekan kerjanya. Tidak bisa menjadi acuan untuk mendeskripsikan sikapnya pada pasangannya, karena itu yang kami alami.
Kami sudah cukup dewasa untuk mengerti arti dari keseriusan hubungan. Kami juga bukan orang yang menolak sebuah pernikahan. Hanya tiba-tiba saja kami merasa bahwa hubungan ini tidak layak untuk dilanjutkan, karena menyadari akan terlalu banyak toxic yang akan melanda nantinya. Kami juga menyadari terlalu banyak perbedaan pendapat selama menjalani hubungan 1 tahun ini. Oleh karena itu, kami memilih berpisah dengan baik.
Sampai hari ini, sejujurnya saya belum selesai dengan kata 'move on'. Tapi saya bukan lagi gadis 18 tahun yang memilih putus lalu menyesalinya dengan menangis dan membuat banyak drama berbulan-bulan. Kami, oh bukan, maksudnya saya, saya tidak melakoni banyak drama. Saya hanya diam dan menyembuhkan diri dengan berusaha menerima bahwa hubungan ini sudah berakhir, he deserve better than me and me too, terima saja. Jangan paksa untuk melupakan dia tapi biarkan kenangan yang dibuat bersamanya terkubur dengan rapi dan menjadi pelajaran yang baik untuk hubungan selanjutnya. Begitu kira-kira saya memperingati diri saya.
Tak ada yang salah dengan putus dan belum menikah di umur 29 tahun menurut pandangan saya. Tapi itu menjadi aneh karena mereka terus-terusan membahas soal pernikahan. Saya bukan hanya diam dan melihat. Saya sudah menjelaskan alasan saya belum menikah hingga saat ini dan apa saja yang sudah saya peroleh. Mereka semua manggut-manggut bak dinasehati tetua. Namun, pertemuan berikutnya pertanyaan itu terus muncul lagi.
Pada dasarnya hal tersebut bukan sebuah tindakan kriminal untuk menanyakan kapan akan menikah atau kenapa belum menikah. Saya senang, itu berarti masih ada yang peduli dengan diri saya hingga saat ini. Tapi lama-kelamaan itu bukan lagi jadi bentuk perhatian tapi kebiasaan yang berakhir cibiran. Aku lemah, melambaikan tangan dan bendera putih dalam kasus "larangan bertanya kapan dan kenapa".
Untungnya orang tuaku bukan tipe orang tua pemaksa yang mewajibkan anaknya untuk menikah di usia berapa. Ya, walaupun belakangan ini jadi agak sedikit rewel dengan kode-kode sudah rindu menimang cucu dan sebagainya. Tapi tidak sampai ekstrim sampai dijadwalkan blind date dengan anak tetangga atau rekan bisnis atau semacamnya. Mereka mengerti bahwa memilih pasangan tidak seperti memilih baju di pasar. Bisa jadi menurut orang tua saya baik tapi saya tidak dan saya sangat berterima kasih kepada tuhan YME akan kebijakan hati orang tua saya.
"Hana, bisa tolong bantu Jinan di dapur" Saya mengangguk dan meluncur ke dapur.
"Hai Ji, ada yang bisa aku bantu?" Alih alih menjawab ia hanya menunjuk semangka seraya menyengir.
"Kak, sebenernya aku bete tau ada kumpul-kumpul bulanan gini. Capeee" Jinan mengerucutkan mulutnya sembari masih mengaduk agar-agar di wajan.
Saya hanya tertawa gemas melihat protesnya terhadap perkumpulan bulanan keluarga kami. Saya bisa merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Dulu saya juga begitu saat di umurnya, di mana saya lebih suka tidur di rumah sambil browsing atau hanya stalking idola di Instagram. Dulu saya menganggap kumpulan keluarga sungguh merepotkan apalagi ketika dilakukan tepat di rumahmu. Maka itu akan terasa jadi hari yang sangat panjang. Lelahnya!
"Saat ini belum terasa apa fungsinya, tapi nanti saat kamu seumur aku. Kamu bisa rasain gimana pentingnya kumpul keluarga kayak gini. Aku juga dulu gitu kesannya cape tapi ya dijalanin aja. Ntar juga bakal ketemu hikmahnya. Ciee jadi gak bisa jalan sama doi yaa" gurau saya padanya
Tawanya meledak.
"Ya bukan karena itu juga sih kaaa. Cuma yang capek aja gitu, toh juga pertemuannya gini-gini aja. Lagian sebenernya aku tuh rada males sama beberapa tante yang pada hobi pamer-pamer, ya abis bikin apalah, anaknya abis dimanalah, kerja dimanalah. Terus pas udah balik mamah pasti nyuruh aku tuh kayak gini, kayak gitu, biar kaya anaknya tante ini. hih gemes aku tuh" Sambil meremas nampan yang baru saja ia tuang agar-agar.
Kali ini gantian tawa saya yang meledak. Ternyata anak ini sudah terkena imbasnya juga. Kasian umurnya masih 21 tahun. Perjalanannya masih panjang untuk sekedar dibanding-bandingkan dengan orang lain. Orang tua memang akan begitu, mungkin itu merupakan wujud dasar dari rasa bangga akan anaknya. Hanya saja, terkadang itu jadi ajang pamer yang berlebihan sehingga memicu orang lain untuk iri. Mereka yang iri akhirnya menuntun anaknya untuk melakukan hal yang sama dengan anak lain. Sepertinya sebagian orang tua masih sulit membedakan mana meminta mana mengarahkan, jadi anak justru terjebak dalam kelimbungan memilih.
"Disabarin aja. Ya kalo gak mau dibandingin bilang aja. Mah, aku tuh sukanya ini, aku mau jadi ini. Jadi aku ambil jalur ini. Terus buktiin kalo kamu emang serius sama omongan kamu dan terbukti. Jadi mamah kamu juga bakal fokus pada apa yang kamu lakukan dan berhenti bandingin dengan yang lain" Ia hanya mengangguk sambil berhmm-hmm ria dengan menunjukan raut wajah seolah mempertimbangkan apa yang saya katakan. Kemudian saya hanya menaruh pisau pada tempatnya dan membawa semangka yang saya potong ke ruang utama.
Menurut saya ini adalah perihal budaya masyarakat Indonesia yang ramah sehingga senang sekali berkumpul, bertanya, dan bercengkrama. Hanya saja, sepertinya dari hari ke hari kultur ini semakin berkembang ke ruang yang lebih ekstrim seperti kepo akan urusan orang lain, pamer, dan berakhir gossip. Ramah ke Marah, begitu mungkin. Entah mengapa kumpulan keluarga ini terasa seperti miniatur dari masyarakat bagi saya. Haha
"Kak, jangan pulang dulu yaa. Selesai ini mau temenin Jinan beli heels ya? Jinan minggu ini ada farewell party gitu dari jurusan" Saya hanya mengangguk sembari membenahi piring-piring kue karena kerabat-kerabat kami satu persatu mulai beranjak dari ruangan ini.
YOU ARE READING
Pena Muda
RandomIni cuma cerita sepihak. Cerita fiktif yang saya tulis berdasarkan keresahan saya terhadap sesuatu. Bukan cerita berat yang membuat kamu jadi pintar. Hanya seuntas pandangan seorang perempuan muda tentang peristiwa atau isu yang secara random di...