Lorong sepi

20 4 1
                                    

Surabaya, 25 Juli 2018

Di lorong yang sepi, aku Jingga sedang duduk sambil menikmati pemandangan luar.

"Hujan..."

Satu kata yang terucap dari bibirku. Menurutku, hujan adalah waktu yang tepat untuk mengingat memori.

Tidak terlalu lama saat aku duduk termenung sambil mengamati rintik hujan.

Kezia, teman satu kelasku menghampiriku ditengah lamunan yang lama.

"Jingga... kamu ngapain? Kok melamun?" Kezia anak pindahan dari Jakarta. Meskipun di Surabaya dia sudah cukup lama, tapi dia tetap menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

"Lagi lihat hujan." Lamunanku tidak goyah sama sekali.

"Hm... aku mau cerita nih, boleh ga?" Sembari mengotak-atik handphone-nya.

"Boleh aja..." kataku tanpa mengubah arah pandangan.

"Menurutmu dia gimana?" Sontak saja aku mengubah arah pandangan ke handphone Kezia. Aku terkejut ketika melihat foto seseorang yang ada di handphone gadis asal Jakarta itu.

"Gimana apanya?" Tanyaku dengan pipi yang merona. Menatap pertama kali saja aku tahu bahwa lelaki yang ada di foto itu tampan, bahkan pandangan pertama pun.

"Ya... wajahnya."
"Tampan... memangnya dia siapa?"
"Kakak sepupuku."

"Sekarang dia tinggal di Frankfurt." Kata-kata itu membuat irama jantungku menjadi lebih cepat dari biasanya.

Aku berusaha meninggalkan pikiran Cinta dibenakku, menurutku mustahil jika kami bertemu. Jaraknya sangat jauh, apalagi kami belum pernah bertemu sebelumnya.

"Menetap selamanya atau... cuma sementara?" Kata-kata yang keluar dengan cepat dan tanpa persetujuan hati.

"Dia hanya 2 tahun disana, kuliah saja." Satu kalimat yang membuatku sangat bahagia.

Mungkin kalian pikir aku adalah anak yang terlalu mudah jatuh cinta, tanpa mengetahui sisi lain orang yang aku cintai. Itulah sifat ku, mudah mencintai orang lain. Tanpa memikirkan sebab dan akibatnya.

"Namanya siapa?" Entah mengapa aku merasa kesal dengan mulutku yang tidak izin kepada hatiku terlebih dahulu.

"Kenta Angkasa. Panggil saja kak Kenta tetapi dia lebih suka dipanggil Angsa. Entah apa alasan dia itu."

Senyuman tipis muncul dibalik rintikan hujan. Entah kenapa aku sangat senang mendengarnya.

"Kenta Angkasa... nama yang bagus." Gumamku ditengah lamunan.

Alunan musik dari handphone ku melengkapi perasaanku kini. Memandangi rintik hujan sembari memikirkan seseorang yang baru saja terlintas dipikiranku.

"Hei... Jingga... kamu kenapa?" Lamunan itu hancur seketika saat Kezia melambaikan tangannya ke arah ku.

"Emm... gapapa kok, kamu jam segini kenapa ga pulang?" Tanyaku untuk mencairkan suasana.

"Aku masih menunggu Dhea dan Sinta, mereka sedang ekskul musik."

"Hmm... ya udah, kalau gitu aku pulang dulu ya, sampai jumpa." Kata ku sambil membawa pergi tas ransel biru.

Sudah 10 menit aku menanti ojek online yang aku pesan. Aku tunggu jemputannya didepan sekolah, sembari membuka grup whatsapp di handphone ku.

Entah mengapa... tubuhku merinding, ketika semua teman-teman kelasku secara tidak langsung menyindirku di grup. Mungkin mereka pikir aku tidak termasuk anggota grup ini. Ingin rasanya aku keluar dari grup sampah yang anggotanya hanya bisa membicarakan kehidupan orang lain dan melakukan ujaran kebencian, body shaming, rasis, dan lain sebagainya.

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang