Pagi ini, hujan deras turun tanpa ragu membasahi permukaan bumi dengan suhu yang semakin rendah dan begitu menusuk hingga ke tulang-belulang. Aku bermenung di dalam kamar, tepat di balik jendela. Menatapi tiap-tiap butiran air itu turun dalam kekosongan lamunan.
Memutuskan untuk tidak pergi sekolah sebab lelah mendera. Aku menghela nafas lagi, mengangkat tangan yang menggenggam benda pipih. Terdiam sejemang, sebelum aku mendial nomor seseorang yang amat ku butuhkan.
"Halo, Ji?"
Mengulum bibir keringku, lantas aku membalas, "Jieun, selamat pagi," sapa ku, berniat basa-basi lantaran aku ingin menghabiskan waktu hanya untuk bercakap-cakap dengannya.
Dengusan Jieun terdengar dari seberang, disusul dengan sahutannya, "Aku heran bagaimana kau bisa tenang mengucapkan kalimat 'selamat pagi' seperti itu," ucapnya dengan intonasi yang menyindir. "Kau tidak berangkat ke sekolah? Ini hampir saja masuk jika kau lupa."
"Ya, maksudku—tidak," sahutku cepat. Mengerjap lembut, lantas berkata, "Aku bolos sekarang. Untuk itu aku menghubungi mu. Aku membutuhkan bantuanmu, Jieun," ujarku memelas. Seolah benar-benar membutuhkan dan mengharapkannya.
Terdengar helaan nafas sebelum Jieun menimpali, "Aku harap bantuan yang ku berikan tidak menguntungkan satu pihak. Apalagi itu kau," ujarnya ketus. Aku terkekeh kecut, memang Jieun satu-satunya yang tahu bagaimana tabiat ku.
Melirik gusar pada pintu kamar yang tertutup, lantas aku membalas sembari melangkah random, "Begini, kau izinkan saja aku. Oke? Buat alasan apapun sehingga Pak Choi—"
"Tidak. Tidak. Tidak. Aku tidak mau," sergah Jieun cepat. Memotong kalimatku yang belum usai terucapkan, ia membalas lagi, "Kau ingin aku mati diinterogasi dengan tatapannya yang dingin itu, Ji? Oh, aku bahkan tidak mau membayangkannya. Itu pasti mengerikan."
Terdengar berlebihan memang, tapi begitulah Pak Choi. Tidak ada bukti yang pasti untuk memperkuat sebuah alasan yang kami berikan, maka ia akan terus menguak lebih dalam hingga kebenaran terungkap. Pun lidah terasa kelu dan otak kosong melompong lantaran dilanda gusar hanya karena cara interogasinya yang berlebihan melebihi pihak kepolisian.
"Aku yakin kau pasti bisa meyakininya," sahutku menyemangati kendati meragu dalam batin. Aku bahkan tidak yakin dengan apa yang kukatakan barusan. "Aku meminta bantuan ini, karena tidak mau berurusan dengannya. Hanya sekali ini saja. Kumohon."
"Sekali ini?" Nada Jieun meninggi hampir tersengar seperti memekik. "Coba kau hitung baik-baik berapa kali kau meminta bantuan ku, Nyonya Park—maksudku, Nyonya Jeon. Aku bahkan lupa jika marga mu berubah."
"Apa maksudmu dengan marga itu?" Aksen ku merendah. "Lupakan saja dengan permintaan bantuan yang kuinginkan. Dan ... " Aku menjeda sembari menarik nafas panjang. " ... Jangan pernah lagi merubah marga ku, Jieun. Maaf mengacaukan pagi mu."
"Ji, aku tidak ber—"
Dengan cepat aku memutuskan sambungan sepihak sebab mood ku total kacau seketika. Hanya karena masalah marga yang Jieun lantunkan gairahku meredup. Aku bahkan tidak peduli lagi dengan masalah yang akan terjadi di sekolah jika hari ini tidak menghadiri kelasnya Pak Choi.
Ah, sial. Aku tidak peduli lagi.
Lantas setelah mengaktifkan mode pesawat, aku segera beranjak menuju cermin. Mematut diriku sejenak di dalam sana, sebelum bergerak untuk menyanggul rambutku asal.
Menarik nafas dalam-dalam, sekali lagi aku memerhatikan daun pintu kamar yang masih sama. Tertutup rapat. Berdiam diri lagi di kamar seharian penuh jelas opsi terburuk. Sebab aku hampir pernah melakukannya dan itu benar-benar menyulitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Daddy ✓
Fiksi PenggemarKetika kehidupan damai Park Jiyeon mulai terusik dengan kedatangan ayah barunya. Memporak-porandakan hatinya. © 2019 proudofjjkabs