01 : Kembali ke Inggris

17 0 0
                                    

"Kau yakin tidak ingin naik pesawat pribadi saja, Fizzy?" Ibunya menatap dengan sungguh-sungguh. "Kalau kau berubah pikiran, Ibu dan Ayah akan segera memanggil Harold untuk penerbangan esok pagi. Hari orientasimu masih akan dimulai beberapa hari lagi, Sayang. Kau tidak perlu buru-buru."

Mau tak mau, Fizz tersenyum, pandangannya pecah. Sudah lama ia tidak melihat Ibunya kehilangan kendali diri. Fizz selalu mengagumi Ibunya; ia adalah orang yang paling tenang yang pernah Fizz ketahui. Ibunya selalu adalah si wanita anggun berkacamata hitam yang berjalan tenang menghindari kamera paparazzi liar. Charlotte Lancaster tak pernah salah tingkah. Wanita itu selalu tahu bagaimana harus bertindak, kapan pun, dan kepada siapapun. Seperti seorang peri yang telah hidup ribuan tahun, Ibunya jarang memperlihatkan emosinya. Bahkan afeksi yang ia berikan pada Fizz dan adiknya kadang membuatnya ngeri, sangat hangat tetapi juga dingin menusuk. Tetapi kini Fizz berada di ambang kepergiannya. Gadis itu mengira bahwa Ibunya begitu saja meluluhlantahkan pembawaannya, seperti orang tersambar petir. Seakan tampak seperti ia baru saja menyadari bahwa Fizz benar benar akan segera pergi. Mata hijau itu, yang kemudian diwariskan pada Fizz, pecah. Gadis itu menggeleng. "Tak perlu, Bu," katanya, "Aku akan baik-baik saja. Aku janji."

Itu sengguk pertama yang dikeluarkan ibunya. Bibirnya bergetar, kedua tangannya dengan halus mengusap wajah Fizz. Air mata Ibunya berjatuhan begitu saja, seakan matanya tidak repot-repot untuk mengedip, seakan Ibunya tengah menerka-nerka wajah anaknya sekali lagi, menghafal setiap sudut dan garis-garis pada wajah Fizz agar ia tidak lupa. "Anakku pergi ke kota kecil untuk menimba ilmu," gumamnya, "Tanpa pengawalan, tanpa sanak saudara. Gadis sulungku pergi ke Oxford untuk meraih impiannya."

Dalam sekejap tubuh Fizz dan Ibunya bertemu dalam satu pelukan erat. Ibunya bergumam kembali, kata-kata yang bahkan tidak bisa Fizz dengar sendiri. Setelah mereka berdua melepaskan pelukan tersebut, Ibunya memegang wajah Fizz dengan sayang. "Kau akan jadi orang hebat, Fizzy," bisiknya, "Ibu bangga padamu. Jaga dirimu baik-baik, oke?"

Fizz mengangguk setelah Ibunya mengecup keningnya. Tidak lama bagi Fizz untuk menemukan Ibunya telah berbenah diri dan kembali mengenakan kacamata hitamnya. Agak janggal mengenakan kacamata hitam saat itu, terutama karena penerbangan yang akan digunakan Fizz adalah penerbangan paling malam (nanti gelap, dong?). Dan Fizz sadar bahwa kini ia harus mengucapkan selamat tinggal pada adik laki-laki kesayangannya. Menengok sedikit kearah Ibunya yang sudah kembali menjadi Charlotte Lancaster yang anggun, Fizz cukup puas dengan yang baru saja dialaminya. Ibu bangga padamu.

"Hai, Champ," senyum Fizz saat ia bergeser kepada adik laki-lakinya. Usia mereka terpaut empat tahun, dan Fizz tidak pernah menyangkal bahwa adik laki-lakinya adalah salah satu hal terbaik yang pernah ia dapatkan seumur hidupnya. Mereka dekat sekali. Gadis itu menyibakkan rambut adiknya, dan adiknya memasang seringai yang menggemaskan. Fizz membatin, apabila ia mewarisi rambut pirang juga seperti adiknya, mereka pasti akan dikira anak kembar. Benar saja. Kini adiknya sudah satu inci lebih tinggi darinya, padahal Fizz termasuk tinggi untuk seukuran wanita.

Fizz memandangi wajah adiknya. Lelaki yang kini berada dihadapannya bukan lagi anak kecil yang sering ia marahi karena mengejar bebek di danau sekitar rumah mereka. Ia adalah laki-laki tampan dengan tubuh yang mulai terlihat gagah. Sebelum ia bisa mencerna lagi adik lelaki yang berdiri didepannya, Fizz terjembap dalam pelukan yang sangat erat. Oh, William, batinnya. Tanpa sadar air mata kembali menjatuhi wajahnya, dan ia juga sadar bahwa kini Will – adiknya – juga tengah berusaha keras untuk menjaga senggukannya. Gadis itu memeluk Will dengan erat, mencium kepala adiknya dengan sayang. "Kenapa kau tidak membiarkanku ikut bersamamu?" Will berkata, ada penyesalan dalam nadanya. "Aku bisa menjagamu. Paling tidak sampai London saja!"

BEGIN AGAIN [Tweenies' Sequel]Where stories live. Discover now