Dalam hening yang begitu kentara, ketika matahari nyaris telah berpulang, seorang pria dengan jubah hitamnya tampak berjalan dengan kecepatan konstan. Dari samar-samar rimbunnya pepohonan di sekitarnya, tidak membuatnya buta bahwa hari sudah menggelap. Ia menghela napas sebelum ia berhenti dari perjalanannya yang pantas disebutnya penebusan dosa. Nama yang memberi efek ngeri, namun apa adanya.
Karena bagi Uchiha Sasuke, pria beriris berbeda warna itu, dirinya begitu banyak menyimpan dosa. Maka dari itu, dirinya dulu berniat untuk menjauh dari desa yang mayoritas dari isinya telah mencoba merentangkan kedua tangannya untuk menerimanya. Tetapi, Sasuke cukup tahu-menahu perihal segala kesalahannya pada masa lalu. Membuatnya merasa tidak pantas untuk mendapatkan segala sikap baik dari para warga desa.
Maka, jadilah ia yang kini terjebak pada waktu sendirinya untuk melihat dunia luar dengan sudut pandangnya yang lain. Sasuke tidak masalah dengan itu. Lagipula, jika Naruto ada untuk melindungi desa, maka dirinya akan berada di balik bayang rerimbunan untuk mencegah segala kemungkinan bahaya dari luar agar tidak menyentuh desa kelahirannya. Sekiranya itu yang ada di benaknya.
Sasuke yang tadi terdiam cukup lama kini mulai melangkahkan kakinya. Berniat mencari ranting bila mata jelinya menangkap benda ramping itu. Berniat mengumpulkan kayu bakar dengan tangan seadanya sampai dirinya menemukan tempat istirahat yang sekiranya pantas.
Sampailah Sasuke pada sebuah lapang tak cukup besar. Namun, sebenarnya cukup untuk satu tenda tetapi Sasuke tidak memerlukan itu sebab ia terlalu malas untuk mendirikan tenda seorang diri. Matanya menangkap bekas abu ranting pohon di pusat tanah lapang tersebut. Membuatnya yakin bahwa tempat ini memang digunakan seseorang untuk setidaknya beristirahat dan menghangatkan diri.
Sasuke lalu menyalakan api pada kayu bakarnya. Dan setelah segalanya selesai, ia kemudian duduk bersandar pada batang pohon yang seolah sejak tadi hanya diam mengamatinya. Kepalanya mendongak dan ia mendapati langit malam di bulan Desember kali ini begitu sepi; tanpa bintangnya.
Sasuke menghela napas. Menciptakan kepulan kelabu samar dari mulutnya mengingat sekarang sudah memasuki musim dingin. Untung saja salju tak ikut menimbrung malam ini. Dalam keheningannya seperti ini, pikiran Sasuke tak pernah kosong. Segala perbuatannya di masa lalu selalu menghantuinya.
Bahkan, ketika dirinya mutlak tak percaya dengan hal berbau mistis, Sasuke tetap merasa hal yang paling membebani serta mencekik hatinya adalah bayangan masa lalu ketika dirinya mempunyai niat bejat untuk menghancurkan desa. Membunuh semuanya demi ambisi tololnya yang selalu membuat Sasuke sadar bahwa dirinya dulu adalah sosok yang begitu mengerikan.
Dan terlebih ketika hari itu terjadi.
Bulu kuduk Sasuke meremang. Ia tak pernah melupakan hari itu. Ketika tangannya itu pernah melukai seseorang yang kini tak bisa ia sangkal sebagai salah satu alasan ia memilih melanjutkan hidup. Ia pernah nyaris membunuhnya. Dengan tangannya sendiri.
Membunuh gadis itu. Gadis yang tawanya seolah mengundang kelopak sakura untuk berlomba-lomba jatuh dari sang induk. Gadis itu, gadis yang kerap kali menjadi layu hanya karena dirinya. Gadis itu, gadis yang berulang kali mencoba menunjukkan kepada Sasuke bahwa dirinya benar-benar mencintai laki-laki tersebut secara cuma-cuma.
Sasuke tahu secara pasti mengenai hatinya. Ia sungguh merasakan adanya desir keinginan untuk merasa dicintai. Singkatnya, ia akan mengatakan iya jika ia ingin menerima gadis itu. Sebab sedari dulu, ia sudah menempatkan gadis itu pada tempat khusus di hatinya, sebelum dendam itu membuatnya gelap mata.
Dalam kesendiriannya, gadis musim semi itu tak pernah absen dari pikirannya. Sasuke tak dapat berkilah lagi, bahwa ia terkadang membayangkan bila ia dapat melihat senyum gadis itu. Ya, dirinya merindukan sosoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter's Whisper
RomanceSasuSaku Oneshot. Canon. ______________________________________________ Bagi laki-laki itu, ia terlalu berdosa. Pada masa yang lalu, ia terlalu menutup hati dan matanya. Ia nyaris kehilangan cahaya hidupnya, tetapi dua pasang tangan itu senantiasa t...