BAB 2. KAPAN MAU NGELAMAR?

743 55 0
                                    

Satu lagi pertanyaan yang bikin kepala pusing yaitu; kapan dia ngelamar??
- Nayla

~~~•••~~~

"Nay, kalo misal lo dijodohin sama papa lo. Lo mau nggak?"

Entah mengapa ucapan receh Denis tadi pagi sukses membuatku terus memikirkannya. Emang dasar si Denis kurang asem. Mana mungkin papa mau ngejodohin aku sama cowok yang nggak aku kenal. Hellooo. Lagian masih ada Yogi yang bertahta di hatiku. Dan fyi, aku nggak mungkin ngehianatin dia dengan nikah sama orang lain. Big no!.

Eh, tapi... gimana kalo beneran papa mau ngejodohin aku kayak di sinetron-sinetron yang ada di TV? Noooo! Papa! No! Aku nggak tahu lagi mau ngapain kalo sampai itu terjadi. Apalagi, kalau mama ikut ambil andil di dalamnya. Ck! Tahu sendiri kan, aku paling lemah, letih, lesu, lunglai, galau, merana durjana kalau berurusan sama mama. Ya Allah, jangan sampai pikiran-pikiran busuk Denis yang meracuniku saat ini terjadi. Pliiiiissss!

"Fatimah!"

Aku mengerutkan keningku dan berpikir, itu bukan aku kan yang dipanggil?

"Assalamualaikum Fatimah."

Aku menoleh dan menemukan wajah lugu Siti bersama Putu Ayu. "Siapa yang lo berdua panggil Fatimah?" tanyaku dengan tampang garang.

Mereka berdua cengengesan. "Ya kamu lah. Masa si Bejo. Kan yang cewek di sini cuma situ."

Aku mengedarkan pandanganku ke seisi ruangan, dan benar saja. Hanya ada aku dan Bejo, ketua tingkat di kelasku. Aku kemudian menatap tajam ke arah Siti dan Putu Ayu. Berani-beraninya mereka memanggilku dengan nama yang iuh itu.

"Ngapain lo pada manggil gue kayak gitu?" tanyaku dengan nada mengintimidasi.

"Kenapa, Fatimah? Kan nama kamu Nayla Fatimah Islami. Kayaknya bagusan kalau kamu dipanggil Fatimah," ucap Siti dengan tampang lugunya.

"Jangan panggil gue dengan nama itu. Nggak suka."

"Namanya bagus kok, Mah. Lebih adem gitu. Eheheh."

Aku melirik Putri yang ikut-ikutan tersenyum lugu. Wth!. Mereka kesambet apaan sih? Dateng-dateng langsung gaje begitu.

"Mah mah mah, lu pikir gue ini mamah lu?" ujarku mencibir ke arah mereka berdua.

"Ssst! Sudah, sudah! Nay, mau ikut ke kantin nggak?" ajak Putri.

Aku sejenak berpikir soal ajakan si Putu Ayu ini. Kutanya dulu si perut, udah mau diisi atau nanti saja? Kalau sudah mau diisi silakan berbunyi, kalau tidak yaaa tidak usah berbunyi. Gaje ya? Iya.

Karena tidak ada tanda-tanda perutku akan berdendang, akhirnya aku menolak ajakan Putri dan Siti.

"Nggak deh, Put. Duluan aja," jawabku. Tapi saat baru saja si Putri dan Siti akan pergi, buru-buru aku menahan langkahnya. "Eh eh, bentar-bentar! Gue mau nitip. Hehehe. Gue nitip roti bakarnya mak Ratu dooong!" pintaku.

Putri menyodorkan tangannya ke arahku. "Mana duitnya?"

Aku mendengkus pelan. "Yaelah. Si Putu Ayu. Nih nihhhh." Aku menyerahkan lembaran uang dua ribu ke tangannya. Putri mendelik sebal.

"Nggak sekalian aja ngasi yang receh-recehan?" sindirnya.

"Allahu Akbaaar! Si Putu Ayu. Mending itu gue kasi duit. Daripada kagak?"

Putri mengelus dadanya pelan. Aku tahu dia sedang berusaha untuk bersabar menghadapiku yang katanya cukup sulit untuk diajak adu argumen. Khekhekhe.

Mereka berdua pun melongos pergi. Meninggalkanku yang kembali terbayang-bayang akan ucapan Nis Manis tadi pagi.

"Apa gue minta dilamar Yogi aja ya?" gumamku pada diri sendiri.

Nayla [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now