*ditulis sebelas bulan lalu, hampir satu tahun.
Aku jatuh cinta. Di suatu sore aku mengatakan aku jatuh cinta pada hujan yang turun tanpa henti. Hujan yang selalu membuatku ingat padamu, karena katamu, hujan adalah favoritmu. Dimana doa yang terpanjat akan mustajab, dimana udara yang dihirup begitu sejuk, dimana hati yang sedang panas (katamu) bisa ikut mendingin. Dan karena semua yang kamu katakan soal hujan benar, maka aku menjadikan kata-katamu itu sebagai trisatya hidupku sendiri. Ya, kujadikan hujan sebagai favoritku juga.
Mengenai hujan. Di sekolah (dulu), tempat favoritku ketika hujan (tepatnya gerimis) adalah di bawah pohon rindang di halaman sekolah. Meski lembar daun tidak bisa melindungi tubuhku dari gerimis, tapi latar dirimu di depan kelas yang bisa kulihat jelas dari bawah pohon itu membuatku lebih mencintai hujan dari momen hujan manapun.
Entah kamu sadar atau tidak, tapi jika kamu keluar kelas dan melihatku seperti orang bodoh duduk di bawah pohon ketika gerimis, maka itu kusengaja. Untuk sekedar melihatmu. Aku akan tersenyum malu-malu, lalu kamu akan berlalu biasa saja.
Sekarang lagi-lagi Februari, juga hujan. Lima tahun lebih berlalu, dan sudah banyak hal berubah. Kita, sudah tidak lagi di sekolah. Aku, sudah tidak punya tempat duduk di bawah pohon rindang lagi. Dan kamu, sudah tidak punya kelas yang letaknya bisa kulihat dari bawah pohon itu. Tapi hujan masih favoritku, dan kamu, masih menjadi penyebab aku memfavoritkan hujan.
"Aku lelah," kataku.
"Kok bisa?" tannyaku.
"Mungkin selama ini caraku salah." Aku menunduk.
"Maksudnya?" Aku masih tidak mengerti.
"Mungkin aku harus mencari cara lain untuk berharap."
"Oooh, tentang itu."
"Apa menurutmu aku belum dewasa?"
"Mungkin. Tapi sepertinya itu bisa dimaklum."
"Aku memang selalu mencari pertolongan dari pemakluman orang lain."
"Mungkin wajar. Kamu kan lama berharap, dan tidak pernah mendapat yang kamu inginkan."
"Hahaha. Kukira aku sudah berubah."
"Ternyata belum?"
"Iya. Lucu. Hahaha."
"Jangan sok kuat! Aku paham isi hatimu."
"Tapi aku benar-benar lelah. Dan berpikir untuk mencari cara lain untuk berharap."
"Kukira itu bagus. Hal-hal semacam asmara belum terlalu penting untuk kamu pikirkan. Kamu punya prioritas lain yang kukira lebih penting."
"Bukan itu maksudku."
"Lalu?"
"Haha. Sudah lah!"
Ya, akhir-akhir ini seiring gerimis di malam setelah isya, aku duduk di teras depan rumahku. Melakukan selftalking dan membahasmu. Bodoh memang. Drama. Aku tidak akan membela diri dengan mengatakan "memang sedalam itu artimu bagiku", meski aku ingin.
Tetapi yang jelas aku sudah sadar, mungkin caraku mencintai hujanmu salah. Aku benci mengakuinya tetapi mungkin memang seharusnya begitu. Untuk saat ini, mungkin aku harus mencari orang lain yang bisa mewujudkan keinginanku tanpa harus terhalang ini dan itu. Tanpa harus berdrama pendek dengan menunjukkan betapa bodohnya aku di hadapanmu.
Mungkin kita berjodoh, tapi nanti. Sekarang, aku akan menggantungkan harapanku pada orang lain. Harapan yang sama besarnya dengan harapanku padamu, namun dengan kemungkinan yang lebih besar. Bukan menghakimi, tapi nyatanya aku masih se-childish dulu.
Kenangan tentangmu mungkin akan sengaja kuhapus dulu, tapi bekas tekanan pensil pada kertasnya tidak akan aku timpa oleh tulisan baru. Kusimpan. Karena siapa tahu harus kutulis ulang suatu hari nanti. Aku akan selalu memfavoritkan hujan karena aku terlanjur jatuh cinta, tapi untuk saat ini, alasannya akan kuubah dulu.
Hey, perempuan pembawa hujan! Aku mencintaimu. Tapi untuk saat ini, aku akan mengejar cinta lain dulu. Jika kita berjodoh, mungkin cinta itu akan kembali milikmu.
Dan satu lagi, sebenarnya aku ingin meminta maaf karena selama ini aku telah berpura-pura tidak membutuhkanmu dan pasrah pada kemungkinan. Tetapi ternyata aku belum bisa, aku membutuhkanmu dan belum bisa pasrah. Untuk alasan itu aku minta maaf, meski sepertinya kamu tidak membutuhkannya sama sekali.
Sampai jumpa lagi jika kita berjodoh, Hujanku!