het verhaal

627 170 42
                                    

|||

Tuk! Tuk!

Bunyi sepatu kayu tua milik noni itu bergesek penuh nada di atas aspal. Namanya Fatmawati─si jelita dari tanah Minang. Jangan kau tanya paras sang dara, amboi ... tak bisa tidur kau tujuh hari tujuh malam membayangkan paras si puan. Amoy benar dia punya tampang, turunan bundo bapaknya punya.

Bebauan petrichor menguar, berdifusi dengan besi-besi di bawah rel sana. Sisa-sisa hujan tadi masih menetes beberapa kali dari asbes-asbes di pinggiran rel. Meskipun begitu, Fatmawati senantiasa setia menunggu─berdiri seorang diri di samping peron.

Beberapa jejaka bersiul-siul nakal kala melihat Fatmawati; ada pula totok (orang Belanda asli) dan Indon (keturunan Belanda dan Pribumi) yang kadang-kadang sengaja berdiri di samping Fatmawati, sekadar untuk mengepulkan asap rokok─berlagak angkuh tuk menarik atensi sang puan.

"Tak sopan!" Begitu gerutu Fatma─sapaan akrabnya. "Jangan engkau coba menghisap cerutu sialanmu itu di dekatku lagi."

Dan seperti itulah akhirnya. Fatma akan berangsur dengan kesadaran dirinya untuk enyah dari hadapan totok-totok biadab seperti itu─persis layaknya negaranya yang laknat.

O, mungkin kau akan tanya siapa gerangan Fatma ini. Fatma adalah anak seorang Gubernur Pariaman yang menjabat saat ini─tahun 1910. Ibunya adalah gundik (pelacur) pribumi, sementara bapaknya itu tentu saja orang Nederland. Jadi, Fatma ini adalah Indon; jelas berbeda, sebab ia lebih lekat pada jiwa pribumi.

"Lama betul tuanku, ini." Fatma menggerutu. Pegal-pegal di kakinya menjalar, namun tak pula ada upaya untuk menyingsing pulang. Kereta dari Boekit Poetoes Emmaheven sebentar lagi akan tiba di Stasiun Pariaman. Akan jadi sia-sia kalau ia pulang lebih dulu.

Bisingnya buyi kereta di ujung sana nampaknya jadi pertanda baik. Fatma bergegas mendekati peron begitu kereta tiba. Sayangnya gaun satin khas anak bangsawan miliknya memaksa ia untuk mundur─sesekali tertabrak beberapa penumpang yang hilir mudik untuk naik.

Fatma merasa jengah. Ia putuskan untuk duduk di salah satu bangku─berharap siapa tahu yang ia tunggu datang.

"Tampaknya engkau lelah menunggu aku."

Fatma mendongak, mendapati rahang tegas seorang pemuda berdiri tegak di hadapannya. Bersama kandil-kandil matanya yang membesar, Fatma tersenyum. "Tuanku sudah datang?"

Jejaka itu namanya Namjoon van deur. Anak kepala menir (kompeni) di Bukit Tinggi sana. Namjoon tersenyum, "Dank u, Meffrow." (Terima kasih, Nona)

Lantas tangannya terulur guna menarik jemari mungil milik Fatma, kemudian berlalu untuk keluar dari stasiun. Delman mereka menunggu di luar. Sembari berjalan, Fatma tak henti-hentinya curi sekali dua kali pandang.

"Tuanku lelah?"

Namjoon terkekeh, mengusuk surai hitam legam milik sang dara. "Kalau aku bilang lelah, itu berarti aku juga lelah untuk mencintai engkau, Meffrow," katanya berbisik. "Aku datang ke sini untuk pinang engkau, bagaimana bisa kukatakan aku lelah."

Fatma tersenyum─sangat lebar. "Dank u. Ik hou van jou (Aku cinta kamu)."

Namjoon balas tersenyum. Rungunya ia dekatkan pada pipi sang dara, mengecupnya kilat, "Jeg elsker dig, Meffrow." (Saya juga cinta kamu, Nona)









klaar

Jeg Elsker Dig ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang