00

5 0 0
                                    

Gelap, dan sunyi, begitulah malam mengalir. Seribu bintang mengambang tanpa ada satu pun yang menepi ke hilir malamku. Ketika pagi datang menggelitik, aku terbangun dengan mata tertutup, masih merasakan beratnya gravitasi di kasur.

Begitu telapak kakiku menempel dengan lantai, seluruh syarafku menjerit kedinginan. Mengingatkan aku si pemilik raga yang lupa menyalakan penghangat ruangan tadi malam. Dengan langkah terseret aku berjalan mendekatkan diri pada jendela, lantas menarik pelan gorden lusuh yang menyelimuti jendala kaca satu-satunya di apartemen tua ini. Sama seperti pagi lain, hanya pemandangan gedung pencakar langit dan salju. Tidak menarik.

Hhh..

Aku menghela pelan, memecah keheningan. Rutinitas monoton membawaku berjalan menuju dapur, menyiapkan secangkir kopi panas kemudian duduk di meja kerja. Berkutat dengan buku-buku bahasa asing yang telah menggunung. Jemariku sibuk membuka lembar demi lembar sebuah buku bersampul marun, aku membaca kata pertama.

'Ah, Bahasa Prancis'

Kututup buku itu dengan keras, manik mataku kemudian sibuk mencari ponsel, yang entah dimana terakhir kali aku letakkan. Begitu kutemukan, jemariku lantas sibuk mencari sebuah nama dalam daftar kontak teleponku. Orang kantor.

"Halo, aku menemukan buku berbahasa Prancis. Bisa kau ambil di apartemenku siang ini?" Ujarku cepat setelah orang dari seberang mengangkat teleponku.

"Maaf Taehyung, hari ini aku tidak bisa mengambilnya, ada dinas keluar. Kau saja yang antarkan ke kantor." Balasannya membuatku membeku sekian detik, merenungkan apa yang akan aku lakukan setelah ini. Mencari alasan untuk tidak pergi ke kantor.

"Tidak mau. Besok saja kau ambil di apartemenku, besok siang." Kemudian kututup teleponku tanpa menunggu respon dari sisi seberang.

Kuhempaskan tubuhku pada kursi kerja, mataku sibuk memandang sinis buku bersampul marun --yang juga berbahasa Prancis itu. Ponselku bergetar sebentar, sebuah pesan masuk. Aku meraihnya dengan malas, lantas membukanya.

'Baiklah aku akan datang kesana. Tapi sekitar jam 5. Jangan protes, aku sudah berbaik hati!'

Tanpa membalas pesan itu, aku beranjak dari duduk. Memilih buku lain. Setelah mendapatkan satu, aku kembali ke meja kerja dan mulai membacanya. Menelusuri kisah di dalamnya.

.
.
.

Suara kunci apartemen yang terbuka membuatku keluar dari kegelapan. Orang kantor itu datang sambil membawa sekantong makanan --entah apa itu, meletakannya di atas meja --setelah dia menyingkirkan beberapa kertas dan buku tentunya. Barang satu dua kali dia menepuk-nepuk celana kantornya, menghilangkan debu. Melipat tangan di depan dada sambil menebar pandang ke segala sudut apartemenku. Manik hitamnya bergerak menatapku sebentar. Kemudian mulutnya mulai bersuara.

"Halo, selamat pagi putri tidur." Dia menyapa dengan bibir yang terangkat naik dan mata yang berubah menjadi bulan sabit.

Aku tidak membalas.

"Bisa-bisanya kau tidur ketika memaksa orang datang ke rumahmu di hari bersalju seperti ini. Kemarilah aku bawa oleh-oleh."

Sambil mengusap wajahku, aku bangkit dan berjalan mendekat. Kemudian duduk berhadapan dengannya, masih tanpa balasan.

"Ah, kau ini selalu diam seribu bahasa. Sekali-kali tanggapi aku saat berbasa-basi begini. Jangan pelit bicara begitu. Tidak baik!" Gerutunya sambil mengeluarkan beberapa kotak makanan dan menatanya diatas meja. Aku hanya menghela napas mendengar gerutunya.

"Nah, makanlah. Aku yakin tuan putri yang baru bangun ini belum makan dari pagi, iya kan?"

"Sebenarnya dari kemarin pagi."

"Hei! Kau ini! Jangan karena kau hidup sendiri di tempat suram seperti ini lantas kau tidak memperhatikan kesehatanmu. Aku tahu kau sedang terpuruk, tapi mati kelaparan di apartemen pinggiran kota begini bukan opsi!"

"Aku tidak akan mati, tenang saja. Makanlah." Balasku sambil meraih lauk dengan sumpit.

"Harusnya aku yang mempersilakan makan, dasar!" Balasnya jengkel, sambil menyusulku menyantap makan malam hari itu.

Selesai mengisi penuh perut, dia sibuk membereskan sisa kotak makan itu. Aku tentu membantunya. Kami diselimuti kesunyian hingga sekian menit.

"Kau mau kopi?" Tanyaku memecah keheningan.

"Ah, tidak usah repot..."

"Tidak apa-apa, aku ingin bersikap sepeeti layaknya tuan rumah yang baik. Juga balasan atas makanan tadi."

"Haha, kalau begitu belikan aku ponsel keluaran paling terbaru," candanya.

"Tidak setimpal, bodoh."

Percakapan kali berhenti, hanya suara mesin kopi yang memenuhi udara apartemenku. Sembari menunggu kopi memenuhi cangkir, aku meliriknya yang sibuk memainkan ponselnya.

"Kau, tidak ingin kembali lagi? Menulis lagu." Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Berhasil membuatku terdiam. Aku tidak menjawab, menyibukkan diri sendiri dengan dua cangkir kopi yang hampir penuh.

"Banyak orang menunggu karya mu lagi, apakah kau benar-benar tidak akan kembali lagi?"

Tatapanku tertuju kepadanya, aku masih enggan menjawab. Kusodorkan satu cangkir kopi untuknya dan menyesap secangkir yang lain, dengan memalingkan wajah.

"Aku sudah kehilangan itu" jawabku kemudian.

"Itu? Kepercayaan dirimu?"

"Bukan, mimpiku."

"Mimpi?"

"Ya. Sejak kejadian itu. Aku kehilangan segalanya. Termasuk mimpiku."

Dia terdiam sebentar, terlihat memikirkan sesuatu.

"Apakah maksudmu, mimpi dalam tidurmu? Yang kau ceritakan dulu?"

Aku tersenyum, lantas membuang muka. Sekali lagi menyesap kopi yang masih mengepul itu.

"Ya. Semua hilang dan terasa begitu mengerikan. Melihat dunia yang sangat kejam seperti ini, dan tidak ada tempat untuk melarikan diri, bahkan dalam tidurku. Menyedihkan bukan, berusaha lari dari kenyataan seperti ini."

"Mungkin kau hanya butuh waktu."

"Seharusnya cukup, 5 tahun dalam keterpukuran seperti ini."

"Tidak ada batasan waktu yang mengatakan kau harus bangkit dalam waktu kurang dari 5 tahun. Tapi aku yakin banyak yang menunggu karyamu. Pasti." Dia berusaha meyakinkanku. Menepuk pundakku, mencoba memberi semangat.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi hal tersebut.

"Baiklah, karena waktu sudah larut. Aku mau pulang dulu. Jangan lupa tenggat waktumu akhir bulan ini ya!"

Ujarnya sambil membereskan beberapa barang, termasuk buku berbahasa Prancis tersebut. Kemudian dia mengenakan jaket dan topi hitamnya.

Aku mengantarnya sampai di depan pintu.

"Park Jimin, terima kasih."

Ujarku sebelum dia menghilang di balik pintu.

Aku kembali pada kesunyianku.

DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang