Special Dessert

1.9K 222 22
                                    

Lima menit berlalu semenjak bel istirahat berbunyi. Satu persatu penghuni kelas mulai meninggalkan bangku masing-masing, dan beralih memadati kantin. Apalagi ini hari Sabtu, artinya akan ada makanan penutup spesial!

Tapi, tidak dengan Jungkook.

Sedari tadi matanya masih fokus menatap pemuda yang duduk dan juga tak kalah fokus di sebelahnya. Pemuda yang seminggu terakhir resmi menjadi teman sebangkunya, karena keputusan sewenang-wenang dari Pak Park, guru matematika sekaligus wali kelasnya.

Jungkook sudah melayangkan protes sekuat tenaga, tapi, nihil. Mungkin batu saja kalah keras dengan kepala Pak Park. Padahal Korea penganut demokrasi. Entah bagaimana kalau seluruh pejabat Korea bertindak sewenang-wenang macam Pak Park. Hancurlah negeri ini, pikir Jungkook.

Harusnya ia tak masalah ketika Pak Park memilihkan teman sebangku bagi siswanya, selayaknya wali kelas lain. Harusnya ia tak perlu protes sebegitunya, bahkan sampai mengatai kepala wali kelasnya itu sekeras batu. Harusnya semua itu bisa terjadi kalau saja Jungkook mendapat teman sebangku yang menyenangkan dan bisa diajak tertawa bersama, bukannya Kim Seokjin, pemuda yang kakunya bahkan mengalahkan samyang mentah.

Seminggu terakhir, selama mereka duduk sebangku, tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir Seokjin. Pemuda yang sangat, sangat, sangat hobi belajar itu bahkan tak mengacuhkan keberadaan Jungkook sama sekali. Seolah di dunia ini hanya ada dirinya dan buku-bukunya.

Jungkook tak mencoba memulai karena ia pun masih dongkol dengan keputusan Pak Park. Siapa pula yang tak tahu betapa dinginnya pemuda bermarga Kim itu? Jungkook tahu sedari tahun awalnya di sekolah ini. Tapi, ia baru tahu sekarang, ternyata kenyataan melebihi dugaannya. Ia bahkan sempat berpikir, Kim Seokjin bukan lagi dingin, tapi, bisu. Hingga pertanyaan nyaring Seokjin ketika pelajaran matematika mematahkan pemikiran itu.

Tapi, akankah terus begini? Satu semester masih di depan mata. Apa ketidaknyamanan ini akan terus berlangsung selama itu?

Mau tak mau salah satu dari mereka harus memulai, bukan?

"Hei." Jungkook merasa suaranya sudah cukup keras. Apalagi seseorang yang ia ajak bicara itu duduk di sebelahnya. Tapi, nyatanya pemuda kelewat rajin itu sama sekali tak menoleh dan masih fokus dengan soal-soal di hadapannya. Sombong! gerutu Jungkook dalam hati.

"Apa telingamu sakit, Seokjin-ahh?"

Seokjin memberengut ketika mendengar panggilan sok akrab dari seseorang di sebelahnya. Ia tahu sedari tadi teman sebangkunya itu memperhatikannya. Tapi, ia memilih untuk tak peduli. Ia pikir Jungkook akan pergi seperti hari-hari sebelumnya. Ternyata ia salah. Untuk pertama kalinya, Jeon Jungkook menegurnya. Teguran yang tidak menyenangkan.

Seokjin menoleh. "Ada apa Jungkook-ssi?"

"Aigoo! Kenapa kau begitu formal? Kita kan teman!" Jungkook merangkul bahu Seokjin, tak peduli dengan mimik kesal lawan bicaranya.

Dengan cepat Seokjin melepas rangkulan Jungkook. "Aku tidak berpikir begitu."

Yang terjadi selanjutnya adalah Seokjin kembali fokus mengerjakan soal-soal matematika yang baru didapatkannya tadi pagi. Dan Jungkook yang tengah menahan kedongkolannya dalam hati.

"Terserah kau saja! Aku sebenarnya hanya ingin mengajakmu ke kantin."

"Tidak. Terima kasih." Seokjin bahkan tak menoleh.

Jungkook tak tahan lagi. "Dasar Kim gila belajar!"

Seokjin menoleh dengan raut muka keruh, membuat Jungkook tertawa dalam hati.

"Lalu apa urusanmu kalau aku ini Kim gila belajar atau bahkan Kim gila sungguhan?"

Jungkook terbahak. Kali ini bukan dalam hati. Sedang Seokjin mengernyit tak mengerti.

"Kau lucu! Benar-benar lucu!" seru Jungkook disela-sela tawanya. "Aku pikir yang terakhir itu bakal lebih cocok buatmu!" Ia kembali terbahak karena pemikirannya.

Seokjin meradang. Pemuda bermarga Jeon itu benar-benar membuatnya kesal. "Kau sungguh menyebalkan!"

Jungkook mengangkat sebelah alisnya. "Lalu? Apa kemudian aku akan disebut Jeon menyebalkan sekali?" Ia terbahak lagi.

Seokjin melotot kemudian coba mengatur napasnya. Ia tak boleh terpancing oleh Jeon Jungkook, yang sedari dulu memang terkenal tengil. Sungguh keberuntungan memang tak berpihak padanya ketika Pak Park memilihkan Jungkook sebagai teman sebangkunya.

"Terserah kau saja!" Seokjin bangkit dari bangkunya. Kalaupun ia meneruskan belajar, Seokjin pikir tak akan bisa, karena Jungkook pasti akan terus mengganggunya. Lebih baik ia ke kantin. Ia baru sadar perutnya berbunyi dari tadi.

"Mau kemana?" Jungkook berhenti tertawa.

"Ke kantin."

Seokjin terus berjalan hingga sebuah tangan tiba-tiba merangkulnya, membuat kakinya berhenti melangkah. Ia menoleh dan tak terkejut ketika menemukan Jeon Jungkook dengan senyum tengilnya.

"Aku sangat tak keberatan kalau kau mentraktirku makanan penutup."

"Aku keberatan. Dan tolong singkirkan tanganmu dari bahuku."

"Untuk seporsi makanan penutup, aku kan melakukannya." Jungkook tersenyum penuh arti.

Seokjin bukanlah pemarah. Ia sangat jarang marah. Bahkan ketika Pak Jung, sopirnya, lupa menjemput dan membuatnya pulang naik bis setelah menunggu berjam-jam lamanya di halte, Seokjin pun tak marah. Tapi, entah kenapa, Jeon Jungkook, teman sebangkunya ini, yang bahkan baru beberapa menit mereka berbicara untuk yang pertama kalinya, sudah membuatnya mengumpat beberapa kali dalam hati.

"Baiklah!"

Jungkook bersorak seperti bocah. Kebalikannya, Seokjin memasang raut seolah beban seluruh dunia berada dipundaknya.

Sial, umpat Seokjin dalam hati.

***

AntonymTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang