"Aku menyukaimu, kamu mau nggak jadi pacarku?"
"Kamu kelamaan yang ngejawab, kupikir kamu nggak mau sama aku."
"Nay− aku sangat menyayangimu, baiklah kalau emang dulu mungkin terlalu cepat, tapi yakinlah, sampai sekarang rasaku masih ada untukmu, kamu mau jadi pacarku?"
**
Hujan siang ini mulai reda. Awan-awan mendung yang semula menutup kini tak lagi ada. Suasana mulai terang, matahari kembali bersinar dengan pelangi yang berdiri gagah di sampingnya.
Aku berjalan dengan sangat pelan menyelusuri jalanan kecil taman yang memisahkan gedung C dan D kampusku. Ingin sekali waktu kuhentikan. Berjalan pelan pun tak apa, asalkan waktu berhenti sebentar saja. Aku lelah.
"Nay−"
Suara itu, suara yang tak ingin aku dengar sekarang. Aku hafal betul suara itu milik siapa. Tuhan hentikan waktuku, aku tak ingin bertemu dengannya untuk sekarang.
"Naya!"
Tangan kuatnya membuatku berhenti. Kehangatannya berhasil membuatku sejenak untuk berpikir, apakah aku melanjutkan langkahku atau aku berhenti dan berhadapan dengan matanya yang tajam namun mempunyai binar yang terang?
Dengan helaan napas panjang, aku beranikan diri menghadapnya. Harum parfumnya masih sama seperti dulu. Sorot matanya yang berbinar tak berubah. Senyumnya, kumis tipisnya pun sama.
"Nay, kok kamu nggak datang ke bandara kemarin?"
"Maaf, kemarin aku ada penelitian, jadi nggak bisa datang," jawabku sambil tersenyum tipis.
Aku membenarkan letak beberapa buku yang kubawa supaya tidak jatuh. Sekali lagi aku menghela napas panjang dan memindahkan pandanganku ke arah lain.
Bahkan kamu tak sadar, bahwa aku menunggumu dalam keadaan basah kuyup. Menunggu dengan keadaan hati yang penuh. Berharap bahwa semua akan seperti dulu. Dan akhirnya semua sirna ketika shinta datang memelukmu dengan erat.
"Maaf aku harus pergi."
"Nay— bolehkan kalau besok aku ajak makan siang sama-sama?"
Tanpa sadar aku mengangguk pelan dan berjalan menjauhinya.
***
Ketika bulan telah bersama bintang, bersinar bersama-sama dengan saling membahagiakan. Mengapa matahari masih terus berharap bahwa pagi dan siang akan terus menjelang?
Aku tau bahwa Tuhan memang adil dalam membagi porsinya masing-masing. Semua seimbang dengan status dan peran yang disandangnya. Aku sadar kalau memang aku hanyalah serpihan masalalu yang mungkin akan terlupakan. Namun, salahkah bila aku memikirkannya? Mengharapnya untuk tetap di sisi dengan seoalah-olah tak ada peristiwa yang pernah terjadi.
***
Tugas-tugas hari ini berhasil menyita seluruh perhatianku. Tugas project kelompok, tugas mandiri, belum lagi tugas pengganti mata kuliah kemarin. Semua dikumpulkan dalam satu hari yang sama. Tiba-tiba ponsel yang berada di sampingku berbunyi.
From : Andre
Jangan lupa nanti ya, Nay. Kutunggu di kafe depan kampus jam 12 siang. Kuharap kamu datang.
Kuacuhkan pesan itu, kukembalikan perhatianku ke tugas-tugasku. Namun ketika aku ingin melanjutkan menulis selalu saja pikiran terdistraksi oleh peristiwa kemarin. Andre dan Shinta. Mengapa hidup selalu begini? Ketika aku sudah memantapkan hati menunggu hal yang dulu dinanti, namun ketika waktu itu datang semua telah terganti. Aku tidak tahu secara jelas memang, tapi apa aku salah jika aku menganggapnya demikian?
YOU ARE READING
Skandal Semesta
Teen FictionDia, Mungkin orang akan beranggapan bahwa dia adalah orang. Bisa jadi demikian, bisa jadi bukan. Kalau aku beranggapan dia adalah hujan. Kamu mau bagaimana? Tapi aku pun masih labil untuk memberi label dia adalah hujan. Nyatanya ada di saat tertentu...