Pertama

34 18 9
                                    

Perihal aku yang menyukai kak danu, kurasa sudah beribu kali kubilang. Tentang kak danu yang selalu senyum sewaktu guru melewatinya, perihal sopan santunnya, perihal dia yang gak bisa kumiliki sampai sekarang.

Nah, perkenalkan, aku khadijah josephine harahap. Aku keturunan batak-belanda. Babe kalau kawan-kawanku mengejekku. Soal gaya bahasaku ini, maklum lah. Latar ceritanya kan di medan, ya pulak kubuat bahasa lo gue disini. Gak etis kalau kata kawanku.

Agamaku islam, dan aku bersuku mandailing. Bingung kan? Aku islam tapi namaku kok aneh kali ada josephine nya. Jadi, sebenarnya josephine itu bagian nama yang diberikan nenekku dibelanda. Gini-gini, aku bule.

Di sekolah, aku ikut keanggotaan osis dan pramuka. Kelen tau paskibra? Entah kenapa benci sekali aku melihatnya. Perasaanku seperti sengaja mereka menghentak-hentak kaki dengan kuat waktu kami yang pramuka lagi latihan LKBB di lapangan yang sama. Dan kebencianku pun bertambah pas cowok dari jakarta itu ikut gabung di paskibra. Menurutku omongan dia banyak sekali, bikin pening kepala jika mendengarnya. Tiap hari kerjaannya mencari gadoh dengan aku saja. Jadi ingin kucincang kukasih ke kucing ku dirumah dagingnya.

Dia, Rèmy Jullien. Macam aku yang dua kenegaraan, dia pun kayak gitu. Tapi dia keturunan perancis. Masih sama-sama eropa lah kami.

Remi, gitu biasa aku manggil dia. Kulitnya putih, badannya tinggi, dan yang bikin dia menonjol ya mata birunya itu. Berbeda dengan aku yang malah mirip sekali sama orang batak pada umumnya.

Garis rahang petak, mulut nyinyir, itulah aku.

Remi selalu bikin aku marah. Kalau sudah jumpa dia, pasti dia ngejek aku. Dibilangnya lah aku ini jelek, sok cantik. Dan yang paling bikin marah, dia suka bisikin aku soal perasaanku ke kak danu.

Itu dimulai saat beberapa hari yang lalu. Hari pertama dia masuk ke SMA negeri ini.

Waktu itu, aku datang sekitaran jam 6.30 pagi. Aku sudah berasa mamang penjaga sekolah saja datang sepagi itu. Sekolah kami masuk sekitaran jam 7.30 dengan bel yang sudah berbunyi pada 10 menit sebelum itu.

Aku lagi jalan sambil megang surat yang sudah seminggu aku pikirkan bagaimana cara memberinya. Jadilah aku datang pagi-pagi seperti itu dengan tujuan menyelipkan itu surat di bangkunya kak danu. Nah, betapa kagetnya keluarga ku pas ku lihat banyak sekali mobil sudah terparkir disitu. Gak pake sekali sih, aku saja yang lebay.

Aku jalan masih heran, kan gak mungkin ada pesta pernikahan di sekolahku. Tapi gapapa sih, lumayan libur haha.

Masih kuperhatikan mobil itu sampai gak lihat-lihat jalan. Rupanya, kutabrak dada orang. Mau minta maaf aku, dia sudah ambil kertas ditanganku.

Dialah remi. Pertama ketemu saja sudah kurang ajar. Aku sudah menghalangi dia untuk tidak baca surat itu, tapi memang dasarnya aku pendek, ya kalah lah. Hampir saja aku nangis pas dia ketawa-ketawa bilang kalau aku norak.

Aku merampas surat itu lalu berjalan balik ke kelas. Mampuslah situ, pikirku.

Ku koyak-koyak kertas ditanganku dengan tenaga sambil membayangkan muka bule tadi. Benar-benar bikin kesal saja kalau mengingatnya.

"Eh, babe. Ngapain kau? Pagi-pagi sudah muncul saja batang idong kau disekolah ini. Buka sekolah kau?" kata seseorang mengejutkan aku.

Aku yang lagi berdiri didepan tong sampah depan kelas menoleh ke dia. "Suka ku napa. Bising kali muncong kau." kataku sensitif.

Dia ketawa, padahal tak ada yang lucu dari perkataanku. "Nampak kali kau lagi putus cinta. Udalah, gosa pala kau pikirin kali. Beserak di pajak cowok kayak dia."

Ku campakkan semua kertas yang udah berkeping-keping ditanganku, lalu dengan berkacak pinggang menatap aisyah, teman sebangku ku.

"Gausah sok tau kau makanya. Siapa lah cak yang kupikirin?" tanyaku.

"Alah, kak danu nya itu pasti."

"Eh! Nggak ya!"

"Nggak salah lagi kan?"

Aku diam salah tingkah. Aisyah ketawa lebar, percis kaya kuntilanak sariawan makan gorengan panas.

"Diem lah kau. Bikin setres aja." kataku.

Aisyah masuk kedalam, meletakkan tasnya di bangku lalu berjalan mendekati aku. Dipegangnya bahuku. "Eh kalok kata ku tuh ya. Hari ini rejeki kau, jah! Tadi ku peter ada, lah, cowok bule didepan. Is betol! Ganteng kali! Gak bohong aku jah!" dia semangat ngomong.

"Matanya biru?"

"Iya, kok tau kau? Sudah belajar dukunnya, kau?"

Is sembarangan kali si aisyah ini kalau sudah menyeplos. Sudah macam korupsi di indonesia, mengalir saja begitu tak ada yang menghalangi. "Ntah sejak kapan aku berdukun. Kau semenjak sadar kalau aku cantik, kau pikir aku pasang susuk kan?"

Aisyah ketawa, lalu mukul bahuku kuat. "Apanya kau. Sejak kapan aku begitu."

Dan begitulah pada saat itu. Aku harus tanggung malu juga terkadang karena remi suka teriak sendiri kalau dia lagi ngomong sama aku. Aku males ketemu dia, tapi dia macam punya jurus seribu bayangannya naruto. Selalu saja dia muncul dimanapun aku berada. Untung pas aku ditoilet dia gak muncul. Kalau nggak, sudah kupukul kepalanya pakai gayung.

"Bonjour, khadijah."

"Hm."

Aku paling hanya jawab sesingkat itu kalau tiba-tiba cowok mata biru itu muncul di hadapanku. Malas sekali menyapanya balik, itu bisa membuatnya makin heboh menggangguiku. Yang paling bikin sengsara diantara semuanya sih, kejadian 3 hari setelah pertemuan pertama kami.

Waktu itu, aku tau kalau dia di ipa 1, bukan ipa 2 sepertiku. Karena aku gak tau kalau bakalan jadi seperti sekarang, ya aku santai-santai sajalah menunjukkan muka didepan dia. Paling hanya sekedar menghindar dari dia kalau ketemu.

Dan aku menyesal sekali pas menjawab pertanyaan dia soal dimana kelasku. Harusnya waktu itu gak ku kasih tau.

Kenapa?

Karena dia jadi pindah ke kelasku.

Pas Le VôtreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang