epilog:gone,dejavu,sorry

27.3K 1.6K 276
                                    

"Ji, apa yang kau lakukan disana?! Kemarilah!"

Aku yang semula menikmati terpaan angin mengenai epidermis wajahku, lekas tersentak mendengar suara Jieun. Belum sampai aku menoleh untuk menatapnya, sebelah tanganku lekas ditarik paksa olehnya. Aku memandangi Jieun dengan tatapan protes sebelum dibungkam oleh rangkulan kerasnya.

"Katakan chees!"

Satu jepretan berhasil diambilnya. Wajahku hanya termangu tanpa ada senyum di dalam sana.

"Ah, hasilnya jelek sekali." Aku meringis, lekas menatap Jieun sengit. "Hapus!" titahku lantang.

"No, no, no. Ini sudah hasil terbaik." Jieun menyimpan ponselnya. "Lagipula kau terlihat cantik disana."

"Jieun—"

"Kapan lagi kita bisa bersenang-senang seperti ini, sebelum kita pergi menempuh jalan masing-masing," pandangan Jieun berubah menerawang ke atas. Aku lantas mengikut arah tatapannya. "Tidak terasa, sebentar lagi kita akan pergi meniti tujuan yang kita pilih." Berakhir dengannya yang tergelak lirih.

"Ya, kau benar." Aku hanya dapat menyahut singkat. Tatapanku kosong ke depan. "Aku ... aku sangat senang hari ini."

Kami membiarkan kesenyapan menguasai untuk beberapa saat. Sibuk dan larut dalam pikiran masing-masing. Riuh dan bising suara mahasiswa lainnya terdengar memasuki rungu kini mulai samar. Aku membingkai senyum tipis tanpa mengalihkan atensi.

"Kenapa kalian diam berdua disini?" Aku tersentak manakala mendengar suara itu yang amat ku kenal. Lekas menoleh cepat, menemukan senyuman teduhnya yang hadir untukku.

"Ibu!" Kaki ku berlari kecil untuk memeluknya sekilas. "Ku pikir Ibu tidak akan datang," sahutku setelah melepaskan pelukan.

"Bagaimana bisa Ibu tidak datang di acara pentingmu, hm?" Suraiku lantas diusap lembut oleh tangannya. Aku semakin melebarkan lengkungan bibir. "Selamat atas kelulusanmu, Sayang." Bibirnya mendaratkan kecupan di dahiku. Ku balas dengan memejam, meresapi afeksi yang Ibu berikan.

"Mm, permisi," aku menolehkan kepala menuju sumber suara. Jieun datang dengan cengiran khasnya seraya menggoyang-goyangkan kamera yang dia pegang. "Bagiamana kalau kita berfoto dulu?" ajaknya.

Pun Ibu mengangguk antusias. "Tentu saja. Ayo, ayo! Kita berfoto."

Kami mulai mengatur posisi dengan Jieun yang memegang kameranya. Aku semakin tersenyum lebar begitu hitungan ketiga telah diserukan. Kebahagiaan ini sungguh tidak akan kulupakan. Kendati, tanpa kehadirannya di sisi kami. Dengan dia yang pergi meninggalkan sejuta tanda tanya dalam kepalaku. Dia yang pergi setelah memberikan janji palsu untukku. Dan dia yang pergi meninggalkan luka yang amat kubenci.

Aku benci perpisahan. Sangat teramat benci. Layaknya Deja Vu, kepergiannya mengingatkan masa-masa terpurukku saat ditinggalkan Jimin. Entah kenapa rasa benci ku terhadap entitasnya kini benar-benar tak terkuasai. Dia yang meminta, maka aku akan dengan senang hati melakukannya.

Maaf.

...

Aku merebahkan tubuh lelahku di atas ranjang dengan perasaan yang tak terdefinisikan. Bercampur aduk. Perasaan mendung terasa lebih mendominasi.

Young Daddy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang