Menjelang pernikahan bukannya malah mengurusi segala sesuatunya untuk persiapan kelak namun Elang harus berangkat ke Sumatra untuk memantau kebun kelapa sawit di sana. Ini permintaan langsung dari bapaknya. Seharusnya yang pergi adalah kang masnya Anas tapi saudara tertuanya itu beralasan sedang sakit hingga ia lah harus menggantikannya.
Sangat pagi nanti Elang akan berangkat, mungkin tiga hari ia akan berada di Sumatra. Sedangkan pernikahannya akan di laksanakan minggu depan. Elang pun segera pergi ke rumah bordil kali ini ia tidak menyelinap melalui jendela, ia datang dengan sopan melalui pintu depan yang di sambut beberapa gundik yang mengerti atas bertamunya Elang.
Elang menunggu di teras, duduk gelisah di kursi kayu. Sambil matanya melirik sinis pada beberapa lelaki yang memasuki rumah bordil.
Tidak lama Cempaka keluar untuk menemuinya, Cempaka sedikit kaget pada sikap Elang yang lebih sopan, biasanya beliau selalu meloncati jendela kamar Cempaka bila ingin bertemu. Tidak seperti saat ini, beliau duduk dengan kepala tertunduk, ada yang janggal Cempaka perhatikan raut wajah Elang lebih datar dan kalem.
"Mas," sapa Cempaka mendekati kursi dan duduk bersebrangan dengan Elang.
Elang mendongakkan kepalanya menatap pada Cempaka. Kemudian Elang merogoh saku celananya mengeluarkan sebuah cincin.
"Ini cincin pernikahan kita, aku ingin kamu memakainya sekarang." Kata Elang membuat Cempaka terheran.
"Kenapa harus sekarang, bukannya pernikahan kita itu minggu depan." Kata Cempaka mengangkat alisnya.
"Kamu ini banyak bertanya, kataku di pakai sekarang kamu harus nurut." Kata Elang mulai kesal.
"Iya..iya, tanya gitu saja marah, nanti situ cepat tua."
Elang hanya berdecak, ia meraih tangan Cempaka dan menyematkan cincin itu ke jari manis kanan Cempaka.
"Ternyata ibuku benar, cincin ini sangat pas di jari manismu, awas cincin ini sampai hilang, aku pastikan kamu akan ku hukum seumur hidup." Kata Elang mengusap permukaan cincin yang bersinar indah.
Cempaka menyukai cincin ini, dulu ia hanya bisa bermimpi pada seorang lelaki yang mneyematkan cincin ke jari manisnya tapi ternyata mimpi itu menjadi nyata setelah hatinya di patahkan anas, meski bukan Anaslah kelak menjadi suaminya Cempaka jauh lebih bersyukur setidaknya Elang tidak memiliki istri sebelumnya, hanya bersama Cempakalah yang kelak berstatus istri pertamanya.
"Sangat indah." Gumam Cempaka takjub.
"Ya jelas indah, cincin ini milik ibuku, dulu beliau menikah dengan bapak ku di kasih cincin ini."
"Loh apa ndhak apa, mas kasih cincin ini ke Cempaka?"
"Ndhak apa lah, kan ini permintaan ibuku langsung."
"Jadi ibu mas menyetujui mas menikahi ku, toh."
"Kalau ndhak setuju tentu aku ndhak menemuimu lagi, gimana toh."
Cempaka mengulum senyumnya, memperhatikan eskpresi kesal dari Elang.
"Dalam tiga hari aku ndhak bisa menemuimu, ku harap kamu jaga lubang kemaluanmu baik-baik jangan di masuki burung lelaki manapun. Paham toh." Kata Elang memperingati.
Cempaka memutar bola matanya, mau marahpun percuma karena ia sudah terbiasa dengan perkataan lancang yang keluar dari mulut Elang.
"Memang mas mau kemana?"
"Mau ke Sumatra, gantikan tugas kang masku Anas."
Cempaka hanya mengangguk pelan sementara Elang mengawasi Cempaka curiga.