Satu

47 4 1
                                    

Ciiiiiit...!




Suara gesekan antara roda sepeda motor dengan permukaan aspal serta merta memaksanya kembali untuk berkonsentrasi. Dengan tangkas, dikendalikannya motor yang setengah oleng itu. Hampir saja dia mencium pantat truk yang tinggal beberapa jengkal dari wajahnya. Tulisan JAGA JARAK, AWAS GANDENGAN, seakan mencemooh kelalaiannya untuk berhati-hati dijalan raya. Dua detik saja pikirannya terbang, hampir membuat nyawanya melayang.

Ini gara-gara Nanda.

Diliriknya jam tangan. Sudah lewat tengah hari. Lapar belum menyerangnya, tapi kejadian barusan sepertinya menjadi peringatan agar ia istirahat sebentar. Motornya juga sudah perlu diisi bahan bakar. Sudah lima jam dia nonstop mengendarai sepeda motor dari Yogya. Perjalanan yang menurut Kamal tidak masuk akal, membuang waktu dan tenaga. Jakarta-Yogya dan kembali ke Jakarta dengan naik motor.

Ini napak tilas terakhir, begitu alasan Awang. Setelah ini, dia tidak akan melakukannya lagi. Tiga tahun sudah cukup untuk terpuruk.

Setiap hari ulang tahun Nanda, Awang selalu menyempatkan waktu di akhir pekan untuk melakukan ritual itu. Touring menggunakan sepeda motor dengan rute Jakarta-Yogya. Menikmati waktu berdua, mampir ke tempat-tempat yang menjadi kenangan. Sudah putus dengan Nanda pun, Awang masih melakukannya. Berharap mungkin mereka akan bertemu di jalan, untuk sekadar tahu bagaimana dia sekarang. Kedengarannya memang bodoh dan sia-sia, tapi kadang nalar memang tidak mau jalan. Apalagi, cinta memang sering tak sejalan dengan nalar .

Ponselnya berbunyi lagi ketika dia berbelok ke sebuah pom bensin. Uti-eyang putri-nya, menelepon yang ketiga kalinya. Awang meminggirkan motor ke arah mushola, urung membawanya ke tempat pengisian bahan bakar.

"Halo, Ya,Uti."

"Halo Awang, Uti mau ngasih tau, ternyata Hanum sudah kenal sama kamu. Katanya pernah satu kelas di SMA. Jadi anaknya langsung mau, tinggal nunggu kamu pulang untuk ketemu. Jadi, kapan kamu pulang Blora?" tanya Uti dari seberang.

Lagi-lagi, Awang diuber untuk dijodohkan. Sejak putus dari Nanda, neneknya selalu mengejarnya untuk mencari pasangan baru.

"Uti sudah memberikan nomor hape-mu sama dia. Dia nggak punya nomormu. Nanti, kalau dia menghubungimu, tanggapi dengan baik ya, Le. Jangan seperti yang waktu itu, kamu cuekin sampai anaknya menangis, mengadu ke Akung-mu."

Awang mencopot sepatu dan kaus kakinya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang ponsel.
Tanggapan atas perkataan neneknya hanyalah deham pendek yang tidak meyakinkan. Kalau dia tidak segera mencari pengganti Nanda, neneknya pasti akan terus mengiklankannya ke bursa para wanita lajang.

Namun, siapa yang akan bisa menggantikan Nanda?

"Wang, dengar nggak kata Uti?" tanya Uti setelah agak lama Awang terdiam.

Begitu mudahnya nama Nanda mengalihkan perhatiannya dari percakapan dengan neneknya.

"Ya, nantilah aku pulang, Uti. Sekarang, aku lagi ada proyek yang harus segera dibereskan."

"Sudah sembilan bulan lebih kamu nggak pulang lho, Wang. Kalau orang hamil, ya tinggal nunggu bayinya lahir. Apa kamu nggak kangen sama Uti? Sampai kurus Uti mikirin kamu," ujar Uti, sedikit mengguratkan senyum di bibir Awang.

Uti kurus? Bukannya kalau banyak pikiran Uti malah banyak makan?

"Ya, ya, nanti aku pulang." Awang lagi-lagi memberikan jawaban yang tidak jelas.

"Oh iya, Wang. Hampir lupa. Tadi, Harjanti, istrinya Nandar, ke sini lagi. Sudah beberapa hari ini dia selalu datang, mau minta tolong," kata Uti.

Belakangan,neneknya itu sering sekali cerita tentang Harjanti dan Nandar-sepupu jauhnya. Agaknya masalah mereka makin menjadi.

"Kasihan dia, Wang, sudah seperti orang stres, putus asa. Nggak tega Uti melihatnya, jadi Uti bilang akan bantu," sambung Uti.

Dari nada bicara neneknya, Awang tahu bukan beliau sendiri yang akan bergerak, tapi Awang-lah yang harus melakukannya, apa pun itu.

"Harjanti minta tolong sama Uti supaya kamu mau bantu dia nyari anak yang namanya Warsih atau siapa tadi, kok Uti lupa. Kamu temuin dia."

"Nyari orang? Buat apa?" tanya Awang, sedikit curiga kalau dia akan disuruh bertindak anarkis atau semacamnya. Seperti waktu kuliah dulu, jadi debt collector neneknya.

"Emangnya kamu belum tahu apa kalau Nandar mau kawin lagi, sama si Warsih itu, atau siapa tadi namanya Uti lupa. Dia itu kerja di Tangerang, di Ciputat kalau nggak salah. Jadi pembantu."

"Terus?" Semakin tidak enak saja firasatnya, men-dekati kebenaran.

"Ya kamu temui dia, bilang kalau semua keluarga Nandar nggak setuju dia kawin lagi. Suruh anak itu jangan mengganggu rumah tangga orang.

"Heh?"

Benar kan. Terlibat dengan perkara rumah tangga orang sama sekali tidak tercantum di kolom minat dan bakatnya. Apalagi mendadak disuruh jadi preman begini. Awang mengacak-acak rambut ikalnya, gemas.

"Kenapa repot amat nyari anak itu. Sidang saja si Nandar langsung. Kalau nikah lagi, dia nggak dapat warisan, pasti pikir-pikir ulang. Beres, kan."

"Itu juga akan diurus. Tapi, ketemu sama si Warsih itu juga perlu. Kalau dia bisa disadarkan dan menolak untuk dinikahi Nandar, kan lebih bagus. Biar Nandar juga tidak punya alasan untuk ngotot." Sepertinya, Uti yang lebih ngotot.

"Nggak janji deh, Uti. Urusan begini aku nggak mau ikut campur." Awang memotong sebelum Uti-nya berbicara lebih panjang lebar mengenai masalah domestik sepupu jauhnya itu.

"Wang, tunggu dulu. Kamu...."

"Uti, aku harus ke toilet, nanti telepon lagi ya. Dadah."

Niat Awang melarikan diri dari pembicaraan tidak berhasil karena sebentar kemudian, sebelum dia masuk mushola, ponselnya berbunyi lagi. Dari Harjanti. Kali ini Awang terpaksa mendengarkan isak tangis, keluh kesah ratap iba dari wanita itu. Lama. Akhirnya, Awang hanya bisa berkata

"Ya, baiklah," menyetujui membantunya. hanya agar dia terbebas dari ratapan panjang itu. la menyetujui menemui seorang gadis bernama Asih Diwatiningsih.




TBC

AKU BAWA CERITA BARUUU

DON'T FORGET TO VOTE AND COMMENT ;)

SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang