Tiga

19 3 0
                                    

Gila itu cowoknya Watik! Canggih!

Keran yang sudah dimatikan itu dihidupkan adegan sore tadi.

"Oh, Watiknya kebetulan lagi nggak ada di rumah," kata Kejora bohong.

Rasa sok ingin melindunginya keluar. Watik tadi bilang dia nggak mau menikah samacowok itu. Tapi, kalau dipikir-pikir, Watik salah urat kaliya. Serius nggak mau sama cowok ini?

"Kapan dia ada?" tanyanya.

Dari raut wajahnya, dia agak gelisah. Berkali-kali melihat jam, mungkin ada janji penting lain yang sudah menunggu.

"Nanti malam mungkin. Mau kusampaikan pesan-nya?"

"Sial," gumamnya.

"Aku harus pergi sekarang. Tolong bilang sama Watik, kalau aku akan ke sini nanti malam jam tujuh atau delapan. Bilang juga sama dia untuk mengaktifkan hp. Di Telpon dari pagi nggak ada terus. Makasih. Permisi." Lalu, dia pergi, dengan sedikit senyumyang membuat hati Kejora seolah kesetrum.

Tidak bisa dipercaya. Dibasuh lagi wajahnya berkali-kali. Menyandingkan Watik dan cowok itu dalam satu frame, sungguh membuat muka Kejora gatal-gatal. Apalagi memikirkan kalau Watik menolaknya. Sungguh tidak masuk akal.

Tahu nggak sih, kalau Wanita itu beruntung, ada yang jelas-jelas mengajaknya menikah? Dimas nembak aja belum. Dulu, cowok itu cuma bilang "Kita jalan bareng yuk"

Uh, jadi panas dalam deh, kalau ingat Dimas.
Seharusnya, kuhentikan saja omong kosong kalau aku nggak apa-apa punya hubungan tanpa jadian. Bagaimanapun akujuga ingin dengar kata-kata itu. Kejora, I love you. Will youmarry me?, batin Kejora.

Cewek berambut lurus itu keluar dari kamar mandi dan setengah berlari menuju kamar. Laptop ditas dikeluarkan dan diletakkan di atas meja belajar. Laporan keuangan butik dikerjakan nanti saja.

Dia harus menghubungi Dimas untuk membicarakan posisi hubungan mereka sebenarnya seperti apa. Namun, jam berapa sekarang di sana? Masih jam kuliah. Eh, tapi inikan hari Minggu.

Sambil menunggu booting, Kejora mengambil ponsel di atas kasur. SMS Dimas, memberi tahu untuk ngajak Skype-an. Balasan diterima beberapa saat kemudian. Yah, Dimas lagi ada ekskursi, sampai ke rumah nanti malam. Itu sih, dini hari di sini. Mending tidur.

"Mbak Jojo." Suara ketukan pintu kamar mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Watik muncul dengan wajah sendunya.

"Orangnya bilang mau ke sini pukul berapa, Mbak?"

"Siapa?"

"Mas Nandar."

"Mas Nandar siapa? Oh, cowokmu? Pukul tujuh atau delapan gitu katanya," ujar Kejora sambil melirik jam.

Tujuh kurang sepuluh menit. Hmm... jadi nama cowok itu Mas Nandar.

"Nanti saya ditemani ya, Mbak. Saya nggak berani sendirian nemuin dia. Pasti saya nggak bisa ngomong apa-apa, ngikut saja. Apalagi kalau dia nanti ke sini lagi sama orangtua saya." Jari-jari tangan cewek tinggi kurus itu bergantian memijit satu sama lain, menandakan dia makin gelisah.

"Lho, kalau memang kamu nggak mau, ya bilang aja, Tik. Menikah kok, dipaksa-paksa. Apa pun itu kalaudipaksa nggak baik hasilnya, apalagi menikah," kata Kejora dengan gaya sok bijak.

"Habis dia selalu bawa-bawa orangtua saya, kan saya jadi susah buat nolak. Bapak ibu banyak berutang budi dan uang sama keluarga Mas Nandar." Watik berdiri menyandar pada pintu.

"Emang masih musim ya, Tik, nikah karena membalas budi?" tanya Kejora.

Pilihan kata-katanya sepertinya kurang pas. Wajah Wanita menjadi semakin keruh.

"Bapak sering pinjam uang ke Mas Nandar. Kalau panen gagal atau ada kebutuhan buat adik-adik sekolah, sama siapa lagi kalau bukan Mas Nandar yang bisa dimintai bantuan. Keluarganya orang paling kaya sedesa. Sawah yang dikerjakan Bapak pun punya dia." Watik duduk di tepi kasur, menunduk sambil masih menautkan jari-jari tangannya.

Wajah cowok itu muncul di mata Kejora. Membayangkannya sebagai tuan tanah di desa, menerima kiriman hasil bumi, mengontrol penggilingan padi, mengecek sapi-sapi. Rasanya janggal.

"Kayaknya, Mas Nandar ini baik hati gitu, dermawan, suka menolong keluargamu. Terus kenapa kamu nggak suka sama dia?" tanya Kejora sambil turun dari kasur, mau membuka situs webmail-nya. Kata-kata muda dan cakep, dia simpan saja sendiri dalam otaknya.

"Dia sudah punya istri, Mbak.

"Heh??!" Nggak jadi sign in, tuh.

Ah, semakin kacau saja. Sekarang, bayangannya jadi bertambah yang nggak-nggak. Cowok tinggi ganteng bernama Nandar itu naik traktor baru, bersama istri dan ketiga anaknya. Tidak!

"Tenang, Tik. Aku akan menolong sampai titik darah penghabisan. Kamu sudah pernah menyelamatkan nyawaku, aku nggak akan tinggal diam kalau kamu diapa-apain sama orang itu," kata Kejora, memberi Watik semangat.

Panas hati juga mendengarkan fakta itu. Semena-mena sekali orang itu maksa nikah, udah punya istri juga. Serakah.

Kejora memang bisa dibilang hutang budi pada pembantunya itu, selain memang dia sudah dianggap seperti keluarga. Saat Kejora kena demam berdarah parah beberapa waktu lalu, sampai harus segera transfusi, Watik menyumbangkan darahnya untuk Kejora.

Hanya mereka berdua yang cocok darahnya. Kebetulan juga saat itu PMI sedang kekurangan stok darah AB. Jadi, wajar saja kalau sekarang dia berusaha membalas budi baik Watik.

Ting tong!!!

Suara bel rumah berbunyi, mengagetkan mereka berdua.

"Mbak.." Watik menggenggam tangan Kejora erat.

"Temani ya. Nanti Mbak bantu bilang kalau saya nggakmau nikah sama dia. Ya, Mbak, ya."

"Iya, iya. Kutemani. Tenang saja." Coba kalau mama papa Kejora ada di rumah, mereka kan bisa bantuin Watik.

"Eh, Tik, kamu udah cerita ke Mama tentang masalahmu ini belum sih?" tanya Kejora.

Watik menegelengkan kepala.

"Kalau begitu, gimana kalau aku sendirian saja yang menemui dia dulu. Kamu nggak usah keluar. Biar aku yang bicara sama dia. Mungkin aku bisa membantumu menunda pembicaraan soal pernikahan sama Mas Nandar itu, biar kita ada waktu untuk konsultasi sama Mama," usulnya karena Kejora juga ragu dengan kemampuannya untuk bernegosiasi.

Watik mengangguk dengan semangat.

Ting tong!!!

Belnya berbunyi lagi.

Kejora meminta Watik menunggu di ruang keluarga, biar dia yang menemui Mas Nandar itu. Lihat saja apa yang bisa dilakukannya untuk membantu Watik

Bel yang ketiga berbunyi saat pintu rumah dibuka.

Dilihatnya sosok itu di balik pagar. Kali ini, Kejora juga melihat ada sepeda motor cowok yang parkir tak jauh darinya.

Hm, dari desa ke sini pakai motor? Kan, jauh banget tuh. Desa Watik ada di Blora, naik bus saja empat belas jam baru sampai di kotanya, belum perjalanan masuk ke desa.

Ah, kenapa harus kupikirkan?

Langkah Kejora mantap, mendekat ke arah pagar Serius, nih cowok orang desa? Berkemeja bagus dengan keren plus tampang kayak model pakaian bermerek gitu.

Diam-diam, Kejora merasa diskriminatif. Emang orang desa nggak boleh keren?

"Malam," sapanya.

"Bisa ketemu dengan Watik?"tanya dia saat pintu pagar dibuka.

"Silakan masuk dulu. Tapi, kalau tidak keberatan, kita bicara di teras saja ya." Dipersilakannya si tamu duduk di teras.

Di rumah hanya ada dua cewek, memasukkan tamu cowok bisa berisiko. Apalagi, cowoknya tidak diterima kedatangannya.

"Sori, aku nggak punya banyak waktu. Bisa tolong Watik dipanggil?" Dia sudah duduk di kursi.

"Mau ketemu Watik ada maksud apa ya, kalau boleh saya tahu." Melihat gayanya yang agak arogan, Kejora jadimakin protektif.

Ada benarnya Watik menolak orang ini. Sudah punya istri, masih mau yang lain, gayanya sok pula. Emangnya siapa dia, merendahkan martabat wanita.

"Aku mau ketemu sama Watik-nya langsung," ucapnya dingin.

Hawanya makin nggak enak.

"Ini urusan pribadi. Jadi, tolong panggilkan Watik."

Langkahi dulu mayatku, seru Kejora dalam hati.

"Sori ya, Mas. Biar ini urusan pribadi, tapi secara pribadi pula Watik sudah meminta saya untuk menemui Mas. Dan perlu saya beri tahu kalau jawaban Watik, tidak. Dia nggak mau menikah sama Mas." Kata-kata Kejora agaknya membuat cowok itu sedikit terkejut. Dia bisa melihat perubahan di raut wajahnya.

"Aku mau ketemu sama Watik. Tolong dipanggilkan," ulangnya.

Tampangnya menjadi lebih dingin. Orang ini nggak ada basa-basinya sama sekali. Kejora hampir saja mau mengatasinya, kalau tidak mendengar bunyi ringtone Captain dari ponselnya. Segera diambilnya ponsel di saku roknya. Tidak ada panggilan masuk.

"Halo, Mal."

Eh, cowok itu yang menerima telepon. Rupanya ponsel dia yang bunyi.

Ringtone-nya sama.

"Sekarang? Hhh... oke. Oke." Dia memasukkan ponsel ke saku jasnya setelah pembicaraan mereka selesai.

"Sini ponselnya." Tanpa peringatan si "Nandar" ini tiba-tiba menyambar ponsel di tangan Kejora saat dia masih memikirkan kebetulan setting-an ringtone itu.

Cewek itu hanya bisa bilang

"Hei"

lalu tidak bisa berbuat apa-apa. Cowok itu memasukkan beberapa nomor, lalu mem-miscall nomor yang dimasukkan itu.

"Aku sudah pegang nomormu. Aku akan menghubungimu lagi. Tolong lain kali nggak usah mempersulit urusan orang. Permisi."Kemudian, dia pergi begitu saja, meninggalkan Kejora terbengong-bengong dengan ponsel yang sudah dikembalikan di tangannya lagi.

"Oh ya, siapa namamu?" tanya dia ketika sampai dipintu gerbang.

"Kejora," jawab Kejora tanpa sadar, hanya bisa memandangnya pergi.

Sampai suara motor itu menghilang, Kejora masih berdiri termangu di teras. Ada yang nggak pas dengan kejadian barusan.

"Siapa tadi, Mbak?" Watik sudah nongol dari balik pintu

"Man Nandar," jawab Kejora.

"Ah, untung dia nggak Jadi menemuimu, jadi kamu bisa lega malam ini. Moga-moga saja dia tidak datang lagi sampai Mama Papa pulang." ujarnya lalu masuk ke rumah.

Kayaknya, bukanWatik yang lega, tapi dia sendiri.

"Suaranya kok, bukan seperti Mas Nandar ya."gumam Watik bertanya-tanya.





                                                                 ㅁㅁㅁㅁㅁㅁㅁㅁㅁ






Langkahnya panjang-panjang, menembus lalu lalang orang-orang yang berjalan santai menikmati hiruk pikuk mal.

Hari Minggu bukanlah hari kerja, tapi mau apalagi kalau klien hanya bisa bertemu di saat seperti ini. Semoga saja dia tidak membuat Pak Teguh menunggu terlalu lama.

Salah sendiri juga mengubah janji bertemu mendadak begini. Awang menaiki eskalator dengan tidak sabar. Macet panjang hampir satu jam menjebaknya, padahal dia bawa sepeda motor. Coba kalau bawa mobil, pasti lebih lama lagi sampai di tujuan.

Kalau dia tahu bakal janjian di mal Taman Anggrek, dia tidak perlu pergi ke daerah Ciputat itu, hanya untuk ditolak bertemu dengan si Watik.

Tadinya, dia pikir kalau mengaku sebagai cowoknya Watik, cewek itu dengan serta merta akan mempersilakannya masuk dan membiarkannya menemui Watik sehingga dia tidak perlu menjelaskan siapa dirinya dan apa hubungannya dengan Watik. Terlalu bertele-tele.

Namun, sepertinya dia salah. Cewek yang menemuinya tadi mungkin anak majikan Watik. Atau, bisa juga dia teman kerja Watik.

Zaman sekarang, di kota besar begini, kadang susah dibedakan antara pembantu dan majikan. Sama-sama modis.

"Kamal." Awang memanggil seorang cowok bertubuh tinggi besar yang duduk sendirian di salah satu mejadi sudut restoran jepang. Cowok berambut jigrak itu melambaikan tangan.

"Mana Pak Teguh?"

"Sudah pergi, barusan saja. Kau lama sekali."

"Ada kecelakaan beruntun, macet di Subroto. Jadi gimana, proyek bisa jalan sesuai jadwal?" Awang melepaskan jasnya, menyampirkannya di salah satu kursi, lalu duduk.

Tangannya melambai memanggil waitress.

"Data data yang kita butuhkan sudah disiapkan?"

"Besok, kita diminta ke kantor ketemu sama orang administrasi. Dia yang akan ngasih data-data. Presentasi pertama dijadwalkan hari Rabu minggu kedua bulan depan.

Tampaknya, kau mengerjakannya sendiri dulu, Wang. Fajar masih mengurusi sistem aplikasi pemasaran punya departemen perindustrian."

"Nggak masalah." Awang mengambil tisu di meja untuk mengelap sisa saos di atas meja.

Seorang waitress datang dengan membawa buku menu. Awang memesan satu paket sushi dan air mineral.

"Sudah beres urusan Ciputat?" tanya Kamal yang menuangkan teh ke cangkir kecil dari kayu itu dan langsung meminumnya tanpa menunggu agak dingin.

"Belum. Peduli amat. Bukan urusanku ini." Pesanan sushi dan air mineral datang.

Awang yang sudah kelaparan segera saja menyantapnya. Belum sepuluh menit, seisi piring sudah habis.

"Mal, kalau nggak ada lagi yang mau dibicarakan, aku mau pulang. Capek."

"Lagian, kau ini juga aneh, Jakarta-Jogja-Jakarta pakai sepeda motor. Kayak kurang duit saja. Pesawat banyak tuh. Kereta. Bus."

"Udahlah, ini yang terakhir. Eh, aku pergi dulu, kauyang bayar, ya. Makasih." Awang menepuk pundak Kamal, menyambar jasnya, lalu bergegas pergi.

Ponselnya berbunyi. Awang menghela napas panjang saat mengetahui nomor panggilan yang tertera.

"Halo,Uti. Ya. Belum, belum ketemu sama anaknya. Kenap anggak si Nandar-nya aja sih, yang disuruh sadar. Ya. Ya." Awang menyeringai geram.

"Ya, Uti. Besok aku ketemu sama dia," ucapnya pelan, menahan jengkel sekaligus mengalah.

Sebelum pulang, dia mampir dulu ke supermarket untuk beli beberapa keperluan. Perjalanan pulang tidak terlalu jauh.

Rumah kontrakannya ada di daerah Permata Hijau. Dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu ruang tamu. Sedikit sisa di belakang dibuat dapur dan tempat cuci. Awang hanya menggunakan satu kamar tidur...saja. Kamar yang lain dipakainya untuk ruang kerja.

Kadang, kalau sedang agak jenuh dengan kesumpekan kantor, dia mengerjakan proyeknya di rumah. Mereka sudah dapat tempat baru, tapi baru bisa dipakai sebulan ke depan. Sekarang, masih direnovasi.

Sementara kantor yang lama sudah hampir tidak muat oleh segala macam peralatan dan tambahan tenaga kerja.

Perusahaan IT yang didirikannya bersama Kamal dan Pak Ryan sudah jalan hampir empat tahun dan perkembangannya lumayan bagus. Mereka mempunyai enam karyawan tetap dan beberapa tenaga kontrak

Awang tiba di rumah saat gerimis turun.

Sudah hampir pukul setengah sebelas. Dia mampir di warteg langganannya. Mendengarkan perbincangan ringan seputar politik, olahraga, dan sesekali gosip setempat.

"Ah, lupa beli lampu," gerutunya saat menghidupkanlampu dapur.

Ruangan itu tetap gelap. Sinar hanya terpancar dari dalam kulkas yang dibukanya. Hampir kosong, tidak ada isi, kecuali beberapa botol air minum dan es batu di freezer.

Dia memang sengaja mengosongkan kulkas sebelum pergi ke Yogya. Takut ada yang membusuk.

Setelah memasukkan beberapa bahan makanan dan buah-buahan ke kulkas, Awang pergi ke kamar tidurnya.

Tidak terlalu banyak barang di sana. Satu lemari pakaian,sebuah kipas angin, ranjang kayu, dan sebuah meja kecil di sebelahnya.

Hanya di kamar ini dia memasang karpet hingga ke seluruh permukaan lantai. Tujuannya kalau kegerahan, dia bisa langsung melempar bantal kelantai dan tidur di sana.

Dia memasang hanger pada jasnya dan menggantungkannya di balik pintu. Dikeluarkannya isi kantong kemeja dan celana. Ponsel, kunci motor, uang receh, struk belanja, uang receh lagi.

Dicopotnya jam tangan, diletakkannya di atas meja kecil itu. Sebuah foto berbingkai merah ada di sebelah lampu tidur, berdiri mengarah ke pintu keluar.

Di foto itu, tampak Awang bersama seorang gadis cantik berambut sebahu.

"Watik. Watik." Awang mengambil lagi ponsel dimeja, membuka menu miscall, mencari nomor cewek yang ditemuinya tadi.

Simpan dulu nomornya. Siapa namanya tadi? Bintang Kejora?

Panggilannya tersambung, Sekali, dua kali, tiga kali. Kenapa nggak diangkat-angkat
sih?

Panggilan itu mati sendiri.

Awang mengulanginya lagi.






                                                                                  ㅁㅁㅁㅁㅁㅁ






Kejora tergeragap dan bangun dengan mata berknang-kunang. Mengagetkan saja suara telepon itu. Siapasih, malam-malam begini nelepon. Dimas bukan, ya ? Di mana ponselnya?

Celingukan, Kejora mencari arah datangnya suara. Sesaat, ia melirik layar laptop. Yaampun, laporan keungannya ternyata belum disentuh sama sekali.

Jadi, tadi dia hanya cek e-mail terus tertidur di meja.

Ponselnya ternyata ada di rak buku, entah bagaimana sampai di sana.

Hm, nomor yang nggak dikenal.

"Halo." Suara Kejora serak

"Besok, aku akan menemui Watik. Tolong jangan cari alasan lagi untuk menghalanginya. Jam delapan malamaku ke sana. Oke? Bagus."

Lalu dia mematikan telepon tanpa menunggunya bicara.

Apa-apaan nih? Dasar si Nandar! Semaunya saja dia. Terserah kalau dia mau ke sini.

Besok, dia akan mengajak Watik menginap di tempat Jena. Rasain!







TBC

Maaf ya lama apdetnya. Alhamdulillahnya ada waktu kosong di 14 hari ini.

semuanya Stay safe yaaaaa....

jangan keluar-keluaran dulu, okay.

DON'T FORGET TO VOTE AND COMMENT

SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang