Lima

23 2 3
                                    

"Malam, Mbak Jojo. Hati-hati di jalan ya," kata Alya, diikuti yang lain, saat melewati Kejora yang sedang mengambil sepeda motor matic-nya di parkiran.

Kejora membalas dengan lambaikan tangan dan mengucapkan hal yang sama. Sebagian besar penjaga butik itu naik angkot. Hanya Kejora, Alya, dan Ridwan yang bawa sepeda motor.

"Malam, Pak Rakit. Saya duluan," pamit Kejora.

Pak Rakit yang berdiri di gerbang mengangguk dan  tersenyum. Syal sudah terpasang di lehernya. Dia lalu membantu Kejora keluar dengan aman dengan memberi tanda pada pengendara lain untuk memperlambat laju kendaraannya.

Sambil jalan, Kejora mengingat kejadian tadi.
Sebenarnya, ada benarnya juga ucapan cowok itu. Kalau dia bertemu Watik, urusan akan cepat selesai.

Minimal, ada kejelasan kalau Watik tidak akan mau menikah dengannya. Namun, kalau Watik sendirian menghadapi dia, Kejora juga ragu kalau cewek itu bisa tahan dengan pendiriannya. Habis cowok sangar begitu. Siapa bisa menjamin dia nggak mengancam Watik dan membuatnya berubah pikiran.

Kesimpulannya, boleh saja dia menemui Watik, tapi Watik harus ada pendamping. Apa dia perlu ngasih tahu ke cowok itu untuk datang lagi kalau mama papanya sudah pulang?

Ah, hampir lupa kalau dia harus ke rumah Jena.

Sampai perempatan di depan, dia harus belok ke kanan.

Semoga di perempatan lampunya hijau, Kejora nggak suka berhenti di lampu merah lama-lama. Berisik, banyak asap, dan waktu terasa begitu lama.

Yah, doanya tidak terkabul. Lampu baru saja merah,

Tanpa sadar sambil menunggu lampu berubah warna, mata Kejora menatap kotak di atas lampu lalu lintas yang memberitahukan masih berapa detik menuju lampu hijau.

Pada detik ketiga puluh, tiba-tiba ada sesuatu yang membuatnya menoleh ke kiri. Semacam sinyal dari alam bawah sadar kalau ada orang sedang memperhatikan.

Jantungnya langsung berdetak keras karena benar-benar ada sepasang mata yang menatapnya lurus. Sepasang mata dari seseorang yang berhenti di sebelahnya. Dia!

Sial, cowok itu masih ada di sekitar sini? Kirain dia sudah benar-benar pergi. Jangan-jangan, dia menguntitku.Menungguku keluar dari butik, lalu diam-diam mengikutiku.

Kalau begini, aku nggak bisa ke rumah Jena dulu. Pikiran Kejora ribut sendiri.

Segera dimatikan lampu ritingnya. Dia harus mengubah haluan.

Cowok itu masih saja menatapnya. Karena grogi, Kejora menurunkan kaca helm, berusaha melindungi dirinya dari hawa panas yang dikeluarkan mata cowok itu. Namun, malam-malam mengenakan kaca helm, pemandangannya jadi nggak jelas. Akhirnya, kaca helm dinaikkan kembali ke posisi semula.

Duh, nggak hijau-hijau juga. Buruan dong.

Begitu angka di kotak lalu lintas tertulis nol, Kejora tancap gas, lurus, nggak jadi belok. Semoga Godzilla itu tidak mengikutinya.

Sambil menambah kecepatan, Kejora melirik ke spion. Namun, agak sulit memastikan lampu motor belakangnya adalah si "Nandar" karena ada beberapa motor

Kejora jadi bingung mau ke mana, selain pulang ke rumahnya sendiri. Mau mampir ke tempat siapa untuk mengulur waktu atau mengalihkannya, rasanya akan sia-sia. Mempelajari sikap cowok itu dalam dua hari ini, Kejora tahu cowok itu nggak bakalan menyerah sebelum mendapatkan yang dia mau.

Empat puluh lima menit kemudian, Kejora sudah sampai di depan rumahnya sendiri. Cowok itu ada dibelakangnya. Beneran menguntit.

Hei, kok ada mobil di carport. Mama papanya sudah pulang! Kejora merasa lega.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang