CP×18 - Friday 28th

837 10 0
                                    

Tanggal 28 September 2018, merupakan hari mimpi buruk bagi warga Palu, Sigi, dan Donggala atau yang disingkat Pasigala. Sore itu menjelang maghrib, 3 bencana sekaligus terjadi yang menyebabkan ribuan warga Pasigala harus meregang nyawa.

Air laut mengamuk menghantam Anjungan pantai Talise, dimana disana akan dilaksanakan festival Palu Nomoni. Tanah pun sama, meratakan Perumnas Balaroa, Kelurahan Petobo, Jono Oge, dan Sibalaya. Beberapa spot yang rusak parah akibat guncangan gempa 7,7 SR tak lain adalah Mall Tatura, Dunia Baru, Hotel Roa-roa, RSU Anutapura, Kampus IAIN, dan Hancurnya Icon kesayangan kota Palu, yaitu Jembatan Lengkung, jembatan IV.

Dan saya sendiri, saat itu berada di Kelurahan Petobo, awalnya gempa yang sangat keras yang menyebabkan semua orang keluar dari tempat huniannya. Selang beberapa detik kemudian, dari atas saya melihat rumah yang bergerak, seketika itu saya langsung lari menuju arah Tanggul berasama Nia, namun tiba-tiba tanah langsung terbelah, rumah-rumah langsung roboh yang hampir menimpa saya dan Nia. Dengan sekuat tenaga kami berlari tanpa arah, terjatuh beberapa kali, tangan dan kaki tergores benda tajam.

Penglihatan kami sangat terbatas akibat gelapnya malam, kami hanya mendengar sayup-sayup suara meminta tolong yang saling bergantian muncul, apa daya kami juga tengah terjebak di tanah yang masih bergoyang, rasa takut menyelimuti kami semua yang sekitar 25 orang yang bertahan di tempat yang luasnya mungkin hanya 5 meter, yap! Kami terjebak disini, jika kami turun di depan kami hanya ada lumpur, dika kami mundur hanya ada rumah yang terbakar, kami benar-benar terjebak, hingga salah satu orang mengatakan bahwa ada jalan, barulah kami beranjak pergi. Tapi! Tapi jalan yang kami lalui benar-benar parah, kami harus melewati lumpur-lumpur yang menghisap dengan cara merangkak, melewati atas rumah yang telah hancur, beberapa kali tangan saya tergores seng dan kaki yang berkali-kali hampir tertusuk paku bangunan.

Dan parahnya, dimana mata saya menyaksikan keganasan tanah, orang-orang banyak yang dimakan kemudian dimuntahkan kembali, ada juga yang langsung hilang di telan bumi, dan yang membuat saya bergidik ngeri adalah saya melihat ibu yang memeluk kedua anaknya yang masih balita kemudian di hantam oleh tanah yang menyebabkan mereka tertanam disana. Benar-benar mengerikan, berkali-kali saya menyebut nama Tuhan meminta pertolongan darinya, saya pikir ini sudah Kiamat!

Kurang lebih 5 jam kami mencari jalan keluar, dan Syukurlah kami selamat, dan tak sedikit juga yang tertimbun disana. 2 hari kemudian, saya datang lagi ke sana, saya melihat perbatasan di tanggul selatan, benar-benar kelurahan petobo rata dengan tanah. Saat saya menginjakkan kaki, tanah seperti adonan kue. Saat mencari barang-barang, masih banyak mayat-mayat yang tertimbun, saya melihat tim basarnas mengevakuasi mereka, dan jika tak bisa di evakuasi, mereka membiarkannya begitu saja.

Seminggu kemudian, saya datang lagi kesana untuk ke sekian kalinya untuk mencari barang di serpihan rumah saya yang telah hancur, dan... Saya melihat mayat yang sudah berwarna cokelat, posenya seperti ingin meraih sesuatu, saya pun tidak tahu apakah mayat itu laki-laki atau perempuan, wajahnya telah hancur, bau busuk menyeruak pun masih tercium walau sudah menggunakan berlapis-lapis masker. Di samping serpihan rumah saya terdapat seperti kolam dadakan yang seperti kolam darah, dimana airnya berwarna merah keruh dan agak cokelat, baunya sungguh menyengat, tidak sengaja pun saya menyentuhnya, tangan saya langsung gatal-gatal, oh iya saya juga bersama Nia.

Dan keesokan harinya, Nia langsung terkena demam tinggi, dia tidak mau makan, setelah pergi ke dokter ternyata dia terkena penyakit tipes, keadaannya benar-benar parah.Dan kami terpisah, karena dia harus pergi ke Makassar untuk dirawat disana.

Kemudian, munculah rumor bahwa disana sering kali terdengar suara-suara meminta tolong, suara anak kecil menangis, dan ini yang saya suka cerita yang diceritakan oleh pria paru baya, awalnya dia pergi ke sana saat sore menjelang maghrib, dia mendengar suara baritone yang menegurnya dari belakang, dan ketika ia berbalik, ia melihat manusia yang kepalanya buntung, dia ia memegang kepalanya sendiri.

Sekian itulah pengalaman saya saat terkena Liquifaksi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekian itulah pengalaman saya saat terkena Liquifaksi.

Kalau ada juga orang sulteng disini, bagaimana cerita kalian sewaktu itu?

Creepy Pasta [Indonesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang