"Jika beban benar-benar sulit untuk ditampung, apa salah jika diri butuh pelampiasan untuk tempat berbagi?"
⛅⛅⛅
Semua orang menginginkan kebahagiaan tanpa kepalsuan. Ingin merasakan indahnya persahabatan tanpa keterpaksaan. Juga ingin merasakan cinta tanpa keengganan.
Namun semua hanya mimpi bagi gadis itu. Semua orang menjauh darinya tapi mereka pura-pura mendekat. Semua orang menolaknya tapi mereka pura-pura menerima.
Sakit memang menjadi seseorang yang ditinggalkan banyak orang hanya karena sesuatu yang bukan kesalahannya.
Gadis itu menatap sendu kedua ujung sepatunya. Alya. Lebih tepatnya Alya Ranseska. Gadis berperawakan tinggi semampai dengan senyum pahit yang merekah dibibirnya.
Alya selalu bertanya, kenapa harus ia dari berjuta manusia yang mengalami hal seperti ini. Sungguh, ini bukan keinginannya. Bahkan ia tak pernah membayangkannya sekalipun hanya dalam mimpi.
Sudah satu jam yang lalu bel pulang sekolah berbunyi dan sudah cukup lama pula gadis itu merenung. Alya meraih tasnya lalu pergi meninggalkan area sekolah dengan langkah gontainya.
"Woy Alya!" teriak seseorang, "Baru pulang lo?"
Gadis itu menoleh, lalu memberikan seulas senyum tipis.
"Iya, lo kenapa belum pulang Nay?" tanyanya pada Nayara. Salah satu orang yang masih ingin bersahabat dengannya disaat orang lain menjauhinya.
"Ini baru aja mau pulang, abis makan ceker mercon di warung Bang Somad," ucapnya sembari terkekeh.
"Oh oke, pulang bareng aja yuk mumpung gue bawa motor."
"Mantap, ayolah sekalian gue ngirit ongkos, hahaha."
Tak seperti biasanya, jalanan Ibu Kota cukup sepi sore ini. Mungkin karena langit sudah mulai mendung.
Setelah mengantar Nayara, Alya mampir ke warung Mang Jaja untuk membeli bubur ayam kesukaan adiknya. Biasanya ia pergi berdua, namun setelah mendengar hinaan orang lain terhadap adiknya, akhirnya ia tidak pernah membawa Bumi--adiknya ketempat itu lagi.
Bumi mengalami kelainan mental sejak lahir. Bukannya Alya malu, hanya saja ia tak kuat mendengar hinaan dari mulut pedas orang-orang itu.
"Nih neng buburnya. Besok mah ajak si Bumi kesini lagi atuh. Kangen mamang teh sama dia."
"Hmm, iya nanti Alya ajak deh. Tapi kapan-kapan ya mang."
⛅⛅⛅
"Assalamualaikum, Alya pulang."
"Waalaikumsalam," sambut Bi Nun sambil menggenggam sapu ditangannya, juga baju yang kotor karena terigu.
"Ada perang dimana, Bi?" Alya yang tak bisa menahan tawa akhirnya terbahak hingga terpingkal-pingkal.
"Ini, Ya. Abis bikin kue, eh si Bumi malah nebar-nebar terigu ke Bibi, yaudah jadinya kayak gini."
"Terus si Bumi dimana, Bi?"
Baru saja namanya disebut, seseorang berlari dari arah dapur dengan keadaan yang sama dengan Bi Nun. Berantakan, bahkan nyaris terpeleset akibat terigu yang berceceran di lantai.
"Yaya, Bumi abis main teligu sama Bibi dong." Kata Bumi yang sedikit terbata dengan pelafalannya.
Bumi Andromeda. Seorang laki-laki yang berusia empat tahun dibawah Alya. Bumi lahir dalam keadaan prematur yang menyebabkan daya pikirnya sulit berkembang.
Ibunya pergi entah kemana sejak tahu keadaan Bumi. Mungkin karena tak terima atau mungkin saja wanita itu malu memiliki anak seperti Bumi.
Lain hal dengan ayahnya. Ayah mereka selalu saja pergi tanpa kabar sejak kejadian beberapa tahun lalu. Ingin sekali rasanya mereka dimanja bak anak lain. Ingin sekali menceritakan pahitnya hidup yang mereka jalani padanya. Namun, semua hanya mimpi adanya. Sangat kecil peluang untuk itu. Bahkan tidak mungkin.
Alya mengambil tissue basah dari dalam tasnya, lalu mengelap telapak tangan juga wajah sang adik.
"Bumi jangan nakal. Nanti Yaya gamau main lagi sama Bumi, terus gak Yaya beliin bubur lagi. Mau?"
Bumi menggelengkan kepalanya lalu memeluk Alya.
"Bumi sayang Yaya." anak laki-laki itu pergi setelah mengecup pipi Alya.
Bi Nun yang sedari tadi memperhatikan interaksi adik-kakak itu hanya bisa tersenyum lalu menitikkan air mata tanpa ada yang tahu.
"Bi, Yaya ganti baju dulu ya. Oh iya ini bubur buat Bumi sama Bibi, nanti tolong suapin ya Bumi ya, Bi."
"Makasih ya Neng, nanti Bumi Bibi suapin."
⛅⛅⛅
Langkah demi langkah menelusuri pijakan anak tangga. Sesampainya di kamar, gadis itu langsung merebahkan diri di atas kasur empuk berukuran king sizenya itu.
Alya mencepol rambutnya asal. Mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah lalu pergi ke balkon dengan sebungkus rokok yang ia bawa.
Percikan api menyambar ganas ujung rokok itu. Perlahan tapi pasti, gadis itu menghirup lalu menghembuskan asap dari dalam mulut dan hidungnya.
Begitulah kegiatannya setiap hari. Hanya merenung, menangis, lalu berpura-pura tegar di hadapan semua orang. Hanya dengan merokok, ia bisa menghilangkan sejenak rasa penatnya.
Alya memejamkan mata sebentar untuk mengistirahatkan pikirannya, namun selang beberapa detik, ponselnya berdering menandakan bahwa ada pesan yang masuk.
Bang Edo
Hari ini jam 7 malam ditempat biasa. Apa lo siap?Lagi dan lagi gadis itu mendengus lalu segera mengetikkan sebuah balasan pesan kepada sang pengirim.
Me
Iya, Bang. Gue siap.Alya melirik jam, ternyata sudah pukul setengah enam sore. Dengan cepat, gadis itu mematikan rokok yang tinggal setengah lalu menyikat gigi untuk menetralkan aroma napasnya.
Alya memakai jaket kulit hitamnya lalu berjalan ke garasi untuk mengambil motor kesayangannya itu.
Langit yang tadinya berwarna jingga berubah menjadi biru kehitaman. Menandakan bahwa Sang Surya sudah kembali menyembunyikan dirinya.
Tak butuh waktu lama, Alya telah sampai di depan sebuah gedung tua yang tampak tak terawat.
Namun, siapa sangka, di dalam gedung kosong se-kumuh itu terdapat sebuah ring besar, deretan kursi tertata di sekeliling ruang, serta samsak besar juga tergantung di sudut ruangan. Sebenarnya tempat apa ini?
Dengan mantap, gadis itu melangkahkan kakinya ke dalam. Seseorang bertubuh tinggi besar menghampirinya.
"Hai, Al. Udah siap? Kalo lo menang, lumayan loh bayarannya."
Gadis itu mengangguk. Gadis itu siap menerima risiko apa pun. Ini jalan hidupnya. Entah sejak kapan ia senekat ini, yang jelas, ia ingin membuat hidupnya tenang.
Good girl? Bukan. Itu hanya kedok dari seorang Alya Ranseska. Biarkan orang lain tahu bahwa ia anak baik-baik, bukan Alya yang se-bejat ini.
Bertarung untuk uang? Bukan. Dia anak dari seorang pengusaha ternama, bahkan ia mampu membeli sebuah apartemen mewah lengkap dengan fasilitasnya. Lalu apa yang dicari olehnya? Hanya dua kata. Pengakuan dan pelampiasan.
Gadis itu memasang sarung tinjunya kuat-kuat, "Siap, Bang. Gue siap."
#TBC
Jika suka dengan cerita ini, kalian bisa vote dan comment. Thx everyone 🐥
KAMU SEDANG MEMBACA
SKY
Teen FictionKebahagiaan itu seperti langit, tampak dekat untuk dilihat, namun sangat jauh dan sulit untuk diraih. - Alya Ranseska Biarlah aku menjadi roketmu. Membawamu pergi menuju langit kebahagiaan. - Gaizka Rama Dirgantara