I Found a Boy

23 4 1
                                    

Jika biasanya langit akan menunjukkan duka citanya dengan mendatangkan awan mendung dan hujan lebat sebagai teman setia Shey dikala sedih, kali ini ia harus rela hanya berteman dengan sunyi di ruangan 3x4 meter miliknya. Sepi seolah tak pernah bosan berkunjung. Menjadi tamu tetap di malam-malam kelamnya.

Hampa. Mungkin hanya kata itu yang cocok mendeskripsikan sebersit rasa di dada Shey. Tidak ada percikan bahagia, tidak juga remasan kegundahan yang serta merta hadir dan membiarkan titik demi titik air mata mengucur sebagai lambang kesedihan.

Segalanya terjadi lebih cepat dari cahaya. Bahkan Shey tidak menangkap apa yang dikatakan Greyson andai saja dirinya tidak memerhatikan gerak mulut laki-laki itu lamat-lamat setelah ia memperjelas kata-kata kelam bagi Shey sekali lagi.

Gadis itu menempelkan kepalanya ke dinding bercat putih pekat. Matanya menerawang langit-langit atap. Menghela napas beratnya yang bahkan terasa semakin menyekik tanpa perlu Shey bersusah payah mencekik lehernya. Ia ingin melupakan. Tetapi hal tersebut tidak semudah berjalan di taman kota.

Pada akhirnya, Shey terlempar ke saat itu.

Bagian lain dari tubuhnya seperti memiliki indra lain untuk merasakan lagi kehampaan dalam dirinya. Bahkan lebih jelas.

"Kamu tahu itu," laki-laki itu menyambung kalimat sebelumnya.

Shey termenung. Memangnya apa yang ia ketahui?

Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Shey setelah itu. Bahkan untuk menelan ludah saja, ia tidak memiliki tenaga yang cukup saat sebaris kalimat kelam kembali terucap dari mulut Greyson.

Darahnya mendesir cepat saat Greyson tersenyum. Kali ini tubuh mungil Shey nampak semakin mungil saat tangan besar laki-laki itu mencengkeram pundaknya erat. Mencoba membawa gadis di depannya menuju rengkuhan hangat tubuh kurusnya.

Greyson berbisik. Perlahan pelukannya semakin erat. Tetapi Shey tidak merasa harus melepasnya. Pun tidak merasa sesak akan kehabisan napas. Ia seolah menikmatinya. Padahal hatinya ingin sekali mengatakan sesuatu. Seperti; apa yang tadi Greyson katakan?

"Sudah hampir empat tahun, Shey. Aku sudah mencoba selama itu." Perlahan, bisikan Greyson terdengar pilu di telinga Shey. Rupanya laki-laki itu menunduk agar Shey dapat mendengarnya dengan jelas. "Aku tidak bisa memaksakannya lagi meski aku juga menyukaimu."

Tangan Shey yang tadi tergantung perlahan kaku. Ia mengangkat keduanya dan menempelkannya perlahan di punggung Greyson. Meremas kemeja flanel laki-laki itu erat. Seakan-akan, Greyson akan pergi dari dirinya saat itu juga meski kenyataannya tubuh jangkungnya bahkan tak memiliki celah untuk mengambil langkah seribu dari Shey.

"Kenapa?"

Greyson Michael Chance. Laki-laki itu tersenyum tulus. Berpikir bahwa Shey sudah menangkap pengakuannya beberapa waktu lalu.

"Dari semua orang yang ada di bumi, kenapa kamu harus menjadi salah satunya, Grey? Kenapa?" Tidak. Greyson ingin Shey sadar. Tetapi ia tidak bisa membiarkan gadis itu, gadisnya, meraung. Ah..., bahkan sebentar lagi, Greyson tidak bisa sekenaknya memanggil Shey dengan sebutan gadisnya tepat saat tubuh yang ia rengkuh mulai melonggarkan pelukannya dan pergi.

Greyson sudah sangat berusaha, tetapi segalanya memang tidak semudah kelihatannya.

"Kamu... bukan gay, 'kan?"

Isakan yang selalu dibenci Greyson akhirnya terdengar. Dahulu ia pernah bertekad tidak akan membiarkannya terisak. Apalagi meraung dan menangis sejadi-jadinya. Tetapi saat ini Greyson hanya dapat menatap lurus ke mata gadisnya saat pelukan mereka terlepas.

Tidak ada warna kehidupan di mata Shey. Tidak pula ada tangis dan isakan penuh kesedihan yang dibenci Greyson.

Rupanya isakan tadi hanya angan laki-laki jangkung itu. Bahkan ucapannya, hanyalah suara sumbang dalam otak Greyson. Seperti sebuah pemikiran semu diluar logika.

Nyatanya, Shey hanya diam dan menatap balik Greyson setajam yang dilakukan laki-laki itu. Tidak peduli apapun yang dikatakannya. Seolah kebenaran ataupun tidaknya penjelasan Greyson bukan masalah untuknya.

"Aku ingin tidur. Bisakah kamu meninggalkanku di sini? Pulanglah jika kamu merasa harus melakukannya."

Tentu, itu bukan ucapan bernada ketus ataupun dingin. Hanya kalimat umum yang sayangnya tidak menyertakan ekspresi apapun sebagai penekanan akan perasaan yang dimiliki Shey saat itu.

Tidak perlu menunggu terlalu lama, gadis itu tersenyum tipis dan menghambur ke kamarnya. Hingga ia terdiam seperti sekarang. Menerawang di dalam ruangan 3x4 meternya. Peduli apa dirinya tentang Greyson saat ini? Antara apakah laki-laki yang dahulu menjadi miliknya tersebut memutuskan pergi atau setia menunggunya hingga keluar kamar untuk makan malam, Shey sungguh tidak ingin peduli.

Apartemen sederhana itu mulai terasa semakin lenggang tatkala suara sekecil derik jangkrik atau dengungan AC saja tidak terdengar sedikitpun.

Shey kali ini melebarkan senyumnya sebelum bergumam pelan, "and the truth is, I found a boy who's in love with a boy. He said that he tried but he's not into girl."

—I   F O U N D    A    B O Y—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

—I F O U N D A B O Y—

Hai! Semoga kalian suka sama ff super duper singkat ini 🙃

Don't forget to hit the vote button down bellow!
👇🏻👇🏻👇🏻

Well, bye!

I Found a BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang