Tuk. tuk. tuk.
Sadar ada yang mengetuk meja, akupun menoleh ke sumber suara. Oh, lelaki yang duduk di sana tadi. Tapi ada apa dia kesini? Apa aku buat kesalahan? Sepertinya tidak.
"Kenapa?" Tanya ku padanya.
"Gue yang harusnya tanya, lo kenapa?" Balik tanyanya yang tentu saja membuatku bingung.
"Hah? Gue?" Balik tanyaku padanya.
Tangannya yang seolah memberi isyarat ada yang salah pada wajahku. Apa jangan-jangan ada belek? Aku yang mengerti langsung mengucek mataku mencari sang belek yang aku sendiri tidak tahu dimana.
Dia malah tersenyum melihat tingkahku. Aku malah semakin bingung, apa lagi yang salah?
"Kok lo malah senyum-senyum sih? Kasih tau dimana beleknya!" Jelasku dengan kesal saat melihat dia tersenyum.
"Maksud gue bukan belek. Lo ga belekan kok hahaha. Maksud gue tuh air mata yang ada di pipi lo. Lo kenapa nangis?" Jawabnya tertawa, tapi jelas kulihat masih ada tatapan khawatir pada matanya.
Aku yang mendengar ucapannya, spontan langsung menundukkan kepala. Aku tidak tahu, bahwa aku ternyata sedang menangis. Mungkin karena tulisanku tadi, oh my god.
"Ma ma.. maaf" Kataku ragu.
"Kenapa minta maaf? Gue tuh nanya lo kenapa nangis?"
"Harus banget ya gue jawab?" Jawabku yang malah balik bertanya.
"Oh, gue tau. Pasti karena mantan kan? Lo baru putus dan mantan lo punya pacar baru," Tanyanya yang menurutku tepat sasaran.
"Kok lo tau? Tapi lo salah, gue putus udah hampir 1 setengah tahun," Jawabku apa adanya.
"Lah udah lama juga ya? Terus, kenapa masih galau? Masih cinta?" Tanyanya.
Akupun hanya bisa menjawabnya dengan gelengan. Aku tidak tahu harus menjawab apa saat dia bertanya pertanyaan yang sama dengan pertanyaanku.
"Eh, tapi kok lo tau sih gue lagi nangis? Gue aja ga sadar," Tanyaku.
"Perpus tuh sepi, telinga gue cukup tajem juga kalo disini ada yang sesendukan" Jawabnya seakan menyindir pertanyaanku.
"Oh gitu, emang lo kelas berapa?" Tanyaku yang sedikit kepo. Jarang juga kan jam segini cowo nangkring di perpus.
"12 IPA 3, lo?"
"12 IPS 2"
"Oh anak IPS, pantes masalahnya cuma karena cinta. Beda sama anak IPA, masalahnya banyak." Terang nya dengan sombong.
"Contohnya?" Tanyaku.
"Selalu bawa kalkulator." Jawabnya singkat. Maksudnya? Kalo itu sih gue juga selalu bawa.
"Hayo! Pasti lo mikir jawaban gue aneh? Iyakan?" Tanyanya yang seakan bisa membaca fikiranku. Aku hanya diam menunggu jawaban sebenarnya.
"Lagian sih, lo pasti mikirnya cuma matematika dan akuntansi doang kan yang butuh kalkulator? Salah besar! Fisika dan kimia juga butuh kalkulator tau!" Jawabnya yang seakan tidak terima dengan sikap ku tadi saat mendengar jawabannya.
"Terus apa hubungannya sama gue?" Tanyaku heran.
"Ya ada hubungannya dong. Beban kalkulator gue lebih berat dari lo. Kalkulator gue harus ngitung mata pelajaran utama di kelas IPA yang notabene buanyak banget rumusnya. Sedangkan kalkulator lo? Cuma dipake buat ngitungin udah berapa lama lo putus sama mantan lo hahhaha" Jelasnya panjang x lebar.
"Kok lo sok tau sih? Kayak gilang aja," Eluhku pelan, mungkin tidak terdengar juga olehnya.
"Gilang? Siapa? Mantan lo?" Tanyanya dengan wajah lugu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who?
Teen FictionFelisha, itu namaku. Aku di besarkan dengan nama Felisha Ghina Chandrawinata. Cukup baca ceritaku. Aku peringatkan jangan pakai hati⛔