Prolog

285 49 23
                                    


Bau bunga mawar menyeruak di segala penjuru ruangan yang temboknya berona putih itu, terlihat kontras dengan mawar yang berwarna merah hati dan daunnya yang kehijauan; menajamkan intuisi seperti memberi (harap) akan firasat baik.
Sesekali terhembus bau khas obat-obatan hingga ke luar ruangan.

Semua yang ada di tempat ini selalu sama setiap hari; tempat tidur dengan balutan sprei putih, lampu tidur dengan cahaya berwarna oranye di sisi kanannya dan bunga mawar dengan pot kecil di atas meja kayu yang mekar mengembang menghias sudut sebelah kiri ruangan. Serta, seseorang yang telah lama menunggu terbaring lemas di ruangan itu dengan infus dan tabung oksigen menemaninya.

Ada asa yang tertanam disana, memenuhi ruangan itu tanpa jejak.

Hari sudah semakin senja. Buratan matahari yang menguning telur dan semburat jingga seperti menghipnotis siapa saja. Di atas rumput setengah basah karena hujan tadi siang, ada langkah seorang wanita dengan kemeja kotak-kotak bercorak putih dengan ekspresi datar memakai sepasang headset yang tersambung ke iPod abu-abu kesayangannya- menyumpal kedua telinganya- entah apa yang ia dengarkan-.

Ia juga membawa sesuatu di tangannya; beberapa tangkai bunga camelia segar berwarna merah muda yang ia petik dari halaman rumahnya sendiri, yang dia bawa khusus untuk seseorang yang sangat menyukai bunga itu.

Wanita itu terlihat sedikit buru-buru, rambut lurusnya yang dikucir ke belakang terayun ke kiri, ke kanan bersamaan dengan langkah kakinya. Namun kemudian langkahnya memelan, sangat pelan, hingga tercegah tiba-tiba di depan lobi Rumah Sakit, ia melepaskan headset yang menyumbat kedua telinganya spontan. Wajahnya tak lagi datar tanpa ekspresi, melainkan berubah cemas penuh ketakutan, matanya nanar, terus menerus memandangi apa yang ia lihat barusan; beberapa perawat berseragam putih membawa seorang pasien yang sudah terselimuti kain putih berlalu di depannya, ia sempat ingin mengejarnya namun langkahnya terhenti lagi. Dari bibir gemetarnya ia bergumam-

"Ayah!"

Ia berlari menuju tangga ke lantai dua tepat ke ruangan dimana Ayahnya dirawat, ia berlari sejadi mungkin sampai bunga segar yang ia bawa untuk Ayahnya itu telah patah dan kelopaknya berjatuhan.

"Mbak Dana, tunggu sebentar Mbak".

Seorang suster yang hendak menuju arah yang sama memanggilnya dari belakang sambil terheran-heran melihat dia berlari serupa demikian.

Ia tiba di depan pintu dengan napas tersengal dan perasaan yang tak beraturan, serta mata yang berkaca-kaca. Rambut lurusnya yang tadi rapih kini tersebar sehelai dua helai menyapu sebagian wajahnya yang lekat oleh keringat. Pikirannya kacau, dipenuhi oleh rasa khawatir akan kehilangan.Tangannya masih gemetar tak karuan memegang gagang pintu yang kemudian ia buka tanpa aba-aba- Ia berdiri sejenak, menghatur napas dan melihat ke dalam ruangan. Tangisnya pecah seketika lalu berlari menuju sosok lelaki dengan mata terpejam terbaring lemas di atas tempat tidur, ia memeluknya erat kala bibir tipisnya melengkungkan senyum haru sembari menyerukan kata "Ayah!".

Entah iya sedih entah ia senang, rasa itu tampak begitu abstrak di wajahnya. Namun senyum tanggung dari bibir tipisnya tadi seolah menggambarkan keduanya. Barangkali ia sedih karena kondisi ayahnya tak kunjung baik; bisa juga ia senang karena tubuh kaku terselimut kain putih yang ia lihat tadi bukan Ayahnya. Ia terlalu takut kehilangan sosok yang ia cintai itu- Hanya belum siap-. Lelaki itu terbangun dari lelapnya, dengan kondisi yang separuh sadar, ia menggerakkan kedua tangannya yang tertanam jarum infus mengangkat wajah anak gadis yang terdekap di dadanya lalu menghapus air yang keluar dari sela matanya yang sayu itu.

"Kakak kenapa kok nangis?"

"Ayah gak bakal tinggalin Dana, kan?" ucapnya di sela jeda tangisnya yang tersedu-sedu.

"Kenapa Kakak ngomongnya gitu?"

"Dana gak mau kehilangan Ayah, Dana gak mau sendirian. Cuma Ayah yang Dana punya sekarang"

"Ia sayang, gak akan. Kan kemarin Tuhan udah janji sama kita, Kakak masih ingat, kan?" Kata sang Ayah, mengingatkan cerita mereka tahun-tahun lalu mengenai janji Tuhan.

"Udah jangan nangis lagi, udah jelek jadi tambah jelek, nanti gak ada yang mau sama anak gadis Ayah"

Sambung Ayahnya sedikit bercanda mencairkan suasana, sambil merapihkan helaian rambutnya yang sedikit berantakan.

"gak apa-apa, Dana udah bahagia memiliki Ayah. Gak mau siapa-siapa lagi" balasnya memelas dengan mimik dan nada datar yang terdengar serius.

"Dana sayang Ayah" sambungnya, sambil merebahkan kepalanya ke dada Ayahnya.

Lelaki itu hanya tersenyum, sesekali menoleh ke tangan Dana yang masih menyisakan beberapa tangkai lagi bunga kesukaannya, yang ia tanami sendiri di rumahnya. Ia mengusap kepala wanita yang ia beri nama Reggy Kwan Dana sekitar 19 tahun yang lalu itu. Obrolan mereka larut bersamaan dengan larutnya sumber terang yang diganti dengan gelap yang membuat mata ingin lelap barang sebentar saja, tapi tak bisa. Hingga pagi datang membawa sumber terang berikutnya.

***

gimana, gimanah? Semoga kalian suka karya pertamaku :)

Makasih udah mau baca, ya! Oh Oh, iya. Jadi pembaca yang kritis dengan meninggalkan feedback ( Vote dan komentar). Mudah kok dan gak akan merugikan. Justru nambah semangat buat Author. Ketjup!

Budayakan sastra, selamat membaca. Salam literasi !!

Salam hangat

Rizki Arfan

Filosofi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang