Kilas,

31 2 1
                                    


"... Matahari tak perlu berkali-kali mengucapkan "aku mencintaimu" kepada bunga. Sekuntum bunga bisa merasakannya tanpa mendengar perkataannya. Saat matahari menyinarinya tanpa henti, membantu proses pertumbuhannya. Ia (matahari) tau kapan
harus pergi dan kapan harus kembali saat bunga membutuhkannya. Ia tak pernah
melarang bunga untuk berteman dengan kupu-kupu maupun kumbang yang membantu pertumbuhannya. Dan matahari tak pernah meminta balas jasa pada bunga. Lalu saat bunga bermekaran, ia memperlihatkan keindahannya pada matahari, dan meminta kepada angin untuk mengantarkan keharumannya agar dapat dirasakan oleh matahari, walaupun ia tahu matahari terlalu jauh untuk bisa merasakannya. Keduanya saling mencintai dengan cara mereka, tak pernah menyesali siapa mereka.

***

Suara hening kala itu seketika berubah riuh oleh tepuk tangan gemuruh dari penonton
sehabis salah satu tokoh membacakan narasi di bagian akhir teater bertajuk "Matahari dan Bunga" itu. Terlihat tokoh yang menggunakan setelan serba putih itu bersuara sangat lantang juga dengan emosi luruh yang membuat hati luluh. Di dukung oleh visual yang mengisyaratkan cinta matahari dan bunga di belakangnya, serta dengan musik latar Kiss The Rain dari Yiruma.

Ia terlihat damai, tenang, dengan perkataan yang sejuk seolah ingin menjelaskan maksud Tuhan menciptakan matahari dan bunga. Beberapa dari penonton larut dengan mata basah dan pikiran yang kalut"kenapa matahari dan bunga diciptakan kalau mereka tidak bisa bersatu" (pasti ada yang berpikiran demikian), ada juga yang hanya diam memaku diri seolah tak ingin mengetahui
apa-apa.

Ruangan sudah akan dikosongkan. Tak lama setelah itu, muncul sekelompok orang dengan pakaian seragam bertuliskan Bhagaskara Teater Group bergegas merapikan kembali gedung teater usai pameran. Yap, merekalah yang mengadakan pameran teater ini.

Bhagaskara Teater Group adalah sekumpulan mahasiswa Sastra dari Universitas Ahmad Dahlan. Mereka rutin mengadakan pameran setiap semesternya sebagai bahan uji, dan pameran kali ini adalah yang ke sekian kalinya; atau yang pertama kalinya di semester 5, sebagai bahan ujian akhir untuk mahasiswa Sastra. Sebetulnya ada beberapa kelompok yang beranggotakan beberapa mahasiswa
di dalamnya; yang juga menampilkan teaternya malam hari ini, namun "Matahari dan Bunga" adalah kelompok yang tampil terakhir, hingga mendapatkan klimaks dari penonton.

Adalah Ray; Rayyan Birendra Zaydan yang ditunjuk sebagai sutradara untuk teater
"Matahari dan Bunga" dari kelompoknya. Sebagai seorang yang gemar menulis, menjadi sutradara tentu hal yang mudah baginya; meskipun ada sebagian mahasiswa sastra yang beranggapan bahwa mereka adalah mahasiswa yang tersasar; menjadi sutradara adalah mimpi buruk. Harus menentukan karakter tokoh, menentukan ide cerita, property pendukung dan lain sebagainya. Namun bagi Ray, itu adalah hal yang menyenangkan; karena ia suka mencurahkan emosinya melalui sebuah karya.

Rambut panjangnya sedikit basah oleh keringat setelah kesana kemari membawa property sisa pameran. Cahaya lampu yang tadinya terangnya sampai menembus sisi-sisi gelap dalamruangan, sudah meredup, yang tinggal hanya bias-bias cahaya dari lampu-lampu kecil di dalam ruangan itu. Ray melihat sekelilingnya, memastikan apa ada yang tertinggal. Ah, ia hampir melupakan banner sisa pertunjukannya. Ia kembali ke atas panggung lalu mencopot banner berwarna hitam dan bertuliskan tinta warna putih itu, terselip namanya disitu selaku sutradara.

bibirnya melengkung membentuk senyum di bibir tipisnya, seolah membuat pola baru diantara kumis dan jambang tipis di wajahnya.

Kursi penonton sudah kosong, teman-temannya pun sudah beranjak sedari tadi entah kemana; karena di luar sedang hujan, mungkin mereka belum pulang. Ruangan sudah betul-betul sepi, tak ada yang tersisa; kecuali bau wewangian kopi dalam ruangan dan suara hujan yang terdengar samar menimpa atap cembung dari dalam gedung yang berbentuk bulat itu. Ray
bergegas keluar gedung setelah mengambil tas selempangnya yang bermotif dua bulu angsa yang selalu ia bawa, tak lupa notebook yang sudah menjadi benda wajib baginya. Tampaknya tas bergaya aesthetic dengan warna hitam dan corak putih itu sudah menjadi identitas Ray, ditambah
lagi notebook yang selalu ditentengnya kemanapun.
Sebagai seorang penulis, notebook sesuatu yang wajib baginya karena inspirasi bisa datang kapan dan dimana saja, sehingga ia bisa mencatat dengan spontan dan leluasa.

Ray sudah berada diluar; tanpa teman-temannya. Barangkali teman-temannya tidur di salah satu ruangan di dalam gedung. Ada banyak sekali ruangan di gedung itu sehingga sulit untuk Ray memastikan di ruangan mana teman-temannya. Lagipula, ia cenderung lebih suka menyendiri hingga memutuskan untuk pulang dan menenangkan pikiran setelah bergelut di keramaian.

Suasana di luar gedung masih hujan. Ray berdiri sendiri di paling sudut kanan gedung, karena disana ada kursi tempat biasa ia mencari inspirasi menulis sajak atau bait puisi yang banyak digemari teman-temannya. Tak heran ia ditunjuk sebagai sutradara karena kretaifitasnya
yang mumpuni. Di kursi ini juga ia biasa merenung hanya sekedar meneguk segelas dua gelas kopi di penghujung malam saat latihan. Karena gedung ini sudah seperti rumah kedua baginya.

Hampir setengah waktunya dihabiskan disini semenjak semester pertama hingga sekarang (semester VII). Tak ada siapapun di sekitarnya. Mungkin orang-orang sudah pulang menggunakan mobil, menyewa ojek payung, atau ada yang rela menerobos berjalan di tengah hujan malam seolah mereka pasangan yang saling berkorban, yang satu melepas seragam lalu
memayungi hujan, sedang yang satu membual kata sayang untuk menghangatkan.
Namun ada yang berdiri di sudut sebelah kiri, tepatnya beberapa meter dari tempat dimana Ray duduk.
Tidak. Sekarang mereka sudah bersebelahan karena Ray terus berjalan ke arahnya setelah melihat wanita dengan tatapan kosong itu.

Ia masih memaku diri, menatap awas sesekali. Matanya berkerenyut, melihat heran ke arah Ray lalu mereka beradu pandang. Menatap heran ke arah Ray yang terus berjalan ke arahnya. Tanpa butuh waktu lama, entah karena takut atau sedang memburu waktu ia pun menerobos hujan dan berlalu begitu sajameninggalkan iPod yang dijejalnya tejatuh.

Ray hanya melihat, mengambil iPod gadis itu lalu berbalik pergi ke tempat dia duduk. Ia lalu menatap tengada ke atas langit, melihat ratusan titik air hujan jatuh membumi tak henti.

Iapun tak lagi duduk, namun berdiri dan bersender di sisi gedung itu. Ia menyapu pandangan di sekitarnya, mengamati kejadian yang sama terjadi dimana-mana; air mengalir, angin yang membuat pohon seolah menari, orang-orang menepi, dan- matanya tertuju pada halte bus yang
sudah lengang, tak ada siapa-siapa lagi disana.

Setelah beberapa saat, tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti, angin pun tak bisa
ditoleransi, dan waktu tak bisa dihenti, ia semakin larut. Ray lebih memilih pulang ketimbang tidur bersama temannya di gedung itu, karena memang ia tak begitu suka menghabiskan waktu, atau hanya sekedar tidur bersama orang lain. Ada perasaan tak nyaman baginya.

Ray pun menanggalkan jacket denimnya, memayungi kepalanya dari hujan lalu bergegas berjalan menerobos hujan yang terus merintik itu. Kini ia tak lagi berjalan, namun berlari. Ia berlari kalang kabut menuju rumahnya yang cukup jauh kalau saja ditempuh dengan berjalan kaki. Jacket yang memayunginya habis basah, sepatunya sudah seperti kapal karam, rambutnya yang panjang terurai tersentak senada dengan pijak langkahnya, tubuhnya gemetar disapu hujan kian lama sebab kedinginan.

***
TInggalin jejak ya slurr. Ketjup basahh :*

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Filosofi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang