Malaikat Tanpa Sayap

54 3 3
                                    

Pagi itu, semesta telah kehilangan sumber gelapnya, matahari memberi sumber terang yang sinarnya merata sampai menembus sisi-sisi ruang tanpa cahaya, kecuali hati yang kalap seolah tak ada seberkaspun sinar. Sungkawa yang teramat telah menempanya menjadi besi berani.

Sepasang jejaknya saling beradu arah menapaki jalan satu arah menuju rumahnya. Wajahnya tampak masih bergairah meski mata dengan lingkar hitam samar itu memberi isyarat- aku butuh tidur-, namun baginya lebih baik hilang waktu tidur daripada hilang waktu bersama ayahnya. Sedetikpun itu sangat berharga. Alih-alih berjalan pulang ke rumah, keluar selangkah dari ruang Rumah Sakit saja berat. Ia hanya menaruh kepercayaan pada kesemogaan; semoga Ayah baik-baik saja, semoga aku masih bisa melihat Ayah, semoga Ayah sembuh. Iya, berharap pada kesemogaan yang sama sekali tiada pasti, hingga ia punya keterpaksaan untuk meninggalkan ayahnya sendirian di Rumah Sakit hari ini.
Hari ini Dana libur bekerja, jadi ayahnya memaksanya pulang dan beristirahat penuh.

Dana terus berjalan mengikuti ribuan jejak yang tak terlihat. Pagi ini, semesta bernapas lembut sekali mengipasi tiap jengkal tubuhnya hingga gigil. Sesekali ia mengambil helaian daun atau setangkai bunga di tepi jalan yang mulai terbakar rona matahari yang sedang menanjak ke permukaan, untuk dicium baunya atau digenggam hanya sekadar menipu lelah yang akan terasa bila ia berjalan dalam lamunan. Sesekali juga ia menendang kerikil yang dia jumpai di jalan, atau memperhatikan foto kecil seukuran dompet bersama ayahnya yang selalu dia bawa kemanapun., hingga tak jarang ia tersandung.

Biasanya ia pulang dengan bus, tapi karena Dia pulang terlalu pagi sehingga belum ada bus yang lewat. Jarak dari Rumah Sakit ke rumahnya juga tak terlalu jauh.

Sewaktu kemudian, Dana tiba di depan rumahnya. Rumah tua sederhana bergaya tempo dulu dengan atap lancip, dan ber warna coklat serta pagar kayu berwarna putih. Dari kejauhan, rumah itu masih sama seperti 19 tahun yang lalu- ia meyakinkan dirinya bahwa memang tak ada yang berubah-. Iya, luarnya memang tak ada yang berubah. Dua kursi santai masih bertengger di beranda rumah itu, dihiasi beberapa buah pot gantung di atasnya, namun tak ada lagi bunga di pot itu, hanya rumput liar yang mengundang beberapa ekor burung gereja, dan juga masih dengan halaman yang didominasi bunga Camelia. Memang tak ada yang berubah, hanya terlihat sedikit tak terurus, dan sedikit kehilangan nyawa. Langkahnya mendekat, semakin dekat, hingga ia tertegak di depan pagar sepinggang lalu menghela napas di tengah keheningan. Wajahnya tertunduk layu. Nyatanya ia sadar begitu banyak yang berubah dari rumah ini, ia hanya berusaha menghibur diri.

Perubahan itu sebuah keharusan, tapi haruskah dengan cara seperti ini, Tuhan?

Ia bergumam dalam hati, seolah enggan masuk ke dalam rumahnya. Bukan apa-apa, hanya bosan berteman dengan sepi dan kenangan yang pernah ia rasakan dan ingin lagi, namun kenangan itu hanya hantu di sudut pikir yang selalu membayangi tapi tak pernah hadir nyata. Dan sekarang kenangan itu hanya terbingkai dalam bingkai foto yang terpaku di tiap sudut rumahnya, juga di otaknya. -Sepi-."

Tidak akan ada dialog, hanya narasi dengan dirinya sendiri yang ia bukukan dalam hati.

Tangannya merogoh saku celananya mencari kunci untuk masuk ke pondok mati ini- begitu ia menyebutnya. Kantuknya sudah tak bisa berkompromi lagi, ia ingin segera rebah dengan hati kosong dan bangun dengan harap keadaan bisa seperti semula.

"Kakak, ayo masuk. Mama udah masakin makanan kesukaan Kakak".

Kalimat itu- terngiang dalam lamunannya selagi ia masih berdiri di depan pintu ternganga. Menghayalkan sosok ibu yang tak pernah ia ungkap hadirnya, menyambutnya di rumah, seperti yang sering ia lihat di sinetron. Ia buyar dari lamunnya dan mengusap wajahnya lalu melangkah melewati pintu masuk. Ia merebahkan tubuhnya yang usang bersamaan dengan hati yang gersang ke atas tempat tidur tua yang juga berumur 19 tahun itu-seumuran dirinya-. Matanya ingin lelap, namun pikirannya selalu berargumen sendiri.

Filosofi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang