Rumah Nenek

18 1 0
                                    

Bismillah gw ga takut setan.
Vomment ya cee :")

Saat Sekolah Dasar dulu pasti selalu ada tugas yang mewajibkan murid-murid ketika selesai liburan, membuat cerita tentang liburannya dan dikumpulkan ketika masuk  sekolah tiba. Judul yang kebanyakan anak-anak tulis adalah "Liburan Kerumah Nenek".

Waktu itu orang tuaku sudah lama merencanakan untuk liburan kerumah nenekku.

Dulu, bagi seorang anak -Sd- seperti ku, liburan adalah hal yang sangat amat dinanti-nanti, bahkan bagi semua orang, difikiran ku liburan adalah bermain, bermain, dan bermain. Waktu liburanku akan ku isi dengan bermain.

Dan yang di nanti-nanti telah tiba, liburan telah tiba. Dua hari setelah liburan di mulai, aku dan orangtuaku pergi kerumah nenek.

Rumah nenek cukup jauh, kurang lebih 3 jam perjalanan menggunakan motor, sesak memang diisi dengan 3 orang. Namun pemandangan sepanjang perjalanan menghalau semua rasa lelah.

Perjalanan yang cukup jauh itu diwarnai oleh hutan yang cukup lebat dan kebun-kebun para penduduk desa, jika ingin ke rumah nenek harus menyebrangi sungai yang cukup lebar dan mengharuskan kami menaiki kapal kayu yang dibuat oleh penduduk desa setempat, yang mana juga sebagai mata pencaharian mereka.

Setelah melewati sungai, masih kurang lebih 1 jam lagi menuju rumah nenek, melewati 2 perkampungan terlebih dahulu yang mana jalanan masih berupa batu-batu besar dan tanah merah, bayangkan saja ketika hujan tiba, perasaan was-was itu selalu menghinggapi kami karena rawan terpeleset jurang di beberapa spot perjalanan.

Desa pertama yang dilewati mayoritas beragama hindu, jadi sepanjang jalan mata memandang warna-warni corak rumah mereka yang amat indah kaya akan makna dari patung-patung yang terpahat.

Desa kedua mulai sedikit orang-orang penduduk beragama hindu, mayoritas muslim. Walaupun berbeda kepercayaan, namun penduduk desa ini sangat hangat persaudaraan malah ketika ada hajatan yang tetangganya berbeda kepercayaan pasti saling bahu-membahu. Kehidupan desa memang sangat erat persaudaraan jauh dari kata egois satu sama lain.

Rumah nenek bisa dibilang paling pelosok karena ujungnya di batasi bukit tinggi dan bersebrangan dengan sungai besar yang mana membatasi antara perdesaan nenek dengan Taman Nasional.

Nenek adalah seorang ibu tunggal, Kakek sudah lama meninggalkan nenek walau tidak bercerai, kakek pergi ketika anak-anaknya masih sangat kecil, itulah yang membuat ku sangat terharu dan bangga dengan nenek yang begitu kuat menafkahi ke-7 anaknya seorang diri.

Nenek sangat membenci kakek.

Rumah nenek sangat sederhana sekali, terbuat dari kayu pohon jengkol dan jati, lalu berlantai semen dingin.

Nenek tinggal dengan kedua anaknya yang sampai saat ini belum menikah, anak kedua dan ke enam. Kedua pamanku ini bekerja ladang  sembari membantu nenek dan kadang-kadang mencari ikan di sungai.

Ketika keluargaku sampai, hal yang di tuju ayah di rumah nenek adalah dapur nenek . Pasti karena nenek membuatkan pindang kesukaan ayah. Dan ayah tak ingin melewatkan itu. Urusan berbenah-nanti sajalah- karena ayah sangat lelah 3 jam menyetir.

Setelah aku dan ibu selesai berbenah kami bergabung bersama di dapur nenek . Dapur nenek tidak memiliki dinding, hanya di tutupi dengan jaring ikan untuk mengahalau ayam ataupun hewan-hewan lain masuk.

Dua hari sudah kami liburan di rumah nenek, hari itu tepat hari jum'at. Aku sangat bosan sekali karena di desa neneku para perempuan yang sudah lulus SMP atau pun SMA sudah habis dikarnakan pergi ke kota menjadi pembantu rumah tangga ataupun bekerja lainnya. Hanya ada beberapa teman sebaya yang aku kenal, Umi si anak tukang siomay dan Mail - yang rumahnya samping Langgar ( lebih kecil dari mushola).

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MEREKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang