#Gerbong Mimpi#

24 0 0
                                    


Permukiman kumuh, tanpa pepohonan

Dan rerumputan.

Hidup berharap-harap akan hadirnya senyuman.

Mengapa kita tinggal di sini?

Arfi, bocah laki-laki berusia sepuluh tahun. Kerap menanyai Mamak, saat rumah mereka bergetar hebat. Ucapan Arfi mampu membuat Mamak membisu, terdiam dan tak mau menghiraukan pertanyaan putranya. Dalam hati, Mamak terpukul dan sedih akan pertanyaan itu, Ia hanya bisa memberikan tempat tinggal yang sebagian besar orang di kota tak mau tinggal di tempat kumuh ini. Pinggiran rel kereta api.

Medan salah satu kota metropolitan yang tak jauh berbeda kondisinya dengan kota Jakarta. Mencari kehidupan sangat sulit. Harus memiliki kemapuan yang lebih untuk bertahan hidup. Mamak hanya mampu mencuci dan menyetrika pakaian saja. Manjadi buruh cuci di rumah cina pekerjaan Mamak sehari-hari. Ayah Arfi telah lebih dulu menghadap sang khalik, dua tahun lalu. Hingga Mamak harus menafkahi Arfi dan adiknya Rani seorang diri. Dan hanya mampu tinggal pada pinggiran rel kereta api dengan harga sewa yang murah.

Permukiman kumuh, tanpa pepohonan

Dan rerumputan.

Hidup berharap-harap akan hadirnya senyuman.

Arfi tampak kaget saat kereta api melaju dengan kencangnya. Rumah papan berlantai tanah sebagian, ikut bergetar. Harap-harap cemas rumah bisa roboh kapan saja. Lebih tiga kali dalam sehari kereta melintas di depan rumah disetai suara klakson khas kereta api.

Sekitar empat puluhan rumah berdiri di sana. Rumah petak kecil dan tak ada cela antara rumah yang satu dengan yang lain. Terik matahari mencekam tanpa ada pepohonan yang menghalangi apalagi rerumputan tempat bermain. Polusi udara tak terhindarkan, debu-dedu berterbangan tidak menentu. Tak heran, Medan masuk dalam peringkat 4 besar kota terpolusi di dunia. Udara kotor pun turut menjadi konsumsi sehari-hari.

Permukiman kumuh, tanpa pepohonan

Dan rerumputan.

Hidup berharap-harap akan hadirnya senyuman.

"Arfi, kok bengong?," teriak Deri salah seorang teman Arfi yang rumahnya berseberangan, besi rel kereta pun menjadi pemisahnya.

Sore itu, Arfi duduk termenung di depan rumah. Menanti Mamak yang belum pulang bekerja. Mendengar teriakan Deri, Ia tersadar dari lamunnya.

Deri adalah sahabat karib Arfi bersama dengan seorang gadis kecil nan imut bernama Nurul. Mereka sangat akrab dan selalu bersama, hingga sering dipanggil tiga sekawan oleh pengguna jalan raya saat ketiganya menjajakan koran di pinggir jalan dan persimpangan lampu merah.

Tiga sekawan itu bersahabat sejak kecil, takdir dan nasib mereka yang mempertemukan. Menyatukan semangat dan kegigihan bocah-bocah kecil yang berniat membantu orang tua mereka dengan berjualan koran di pagi dan siang hari.

Permukiman kumuh, tanpa pepohonan

Dan rerumputan.

Hidup berharap-harap akan hadirnya senyuman.

Banyak anak seusia Arfi bernasib sama, tidak memiliki kesempatan mengenyam nikmatnya bangku sekolahan. Menghabiskan waktu dengan bermain di pinggir rel kereta. Lain halnya dengan Arfi, Deri dan Nurul, tak hanya memikirkan bermain. Tiga sekawan itu berani menerjang panasnya perjalanan bersama lembaran bahkan tumpukan koran setiap harinya.

Bukan hanya mencari rupiah, selayaknyaanak-anak lain, mereka juga tidak lupa menyisihkan sedikit waktu untuk bermain.Tak ada padang rumput untuk bermain. Gerbong-gerbong kereta tua peninggalanbelanda lah menjadi sasaran bermain ketiga sahabat itu. Terdapat dua gerbongkosong berdiri di atas jalur rel yang sudah tidak digunakan lagi. Terkadang, sepulangberjualan koran, tiga sekawan tersebut bercanda ria bermain petak umpet danberlari-lari disekitar rel. Tak hanya itu mereka juga merajut mimpi bersamapada gerbong-gerbong tua itu. Yang sering mereka sebut gerbong mimpi.    

Gerbong MimpiWhere stories live. Discover now