KEDUA lenganku gemetaran hebat bersamaan pelupuk mataku yang sudah basah sedari tadi. Tak terhitung berapa banyak tetesan air mata yang mengalir sejak ku bergeming.
Wajahku memerah bersamaan hembusan nafas yang terus sesunggukan. Tanpa sadar, surat warna ungu penanda hati kelabu itu tiba-tiba lepas dari genggamanku. Jatuh tanpa meninggalkan bunyi atau pun jejak. Terbaring rapi di atas lantai putih kamarku. Dapat terlihat betapa kusamnya sastra lama itu, warnanya sudah memudar bahkan bentuk tulisannya sedikit buram. Entah karena sudah terlalu lampau atau karena bercampur dengan bulir-bulir air mataku.
Pupilku yang masih buram melirik sedikit ke sana, membaca sembarang sekali lagi isi surat yang hanya tampak di pengelihatanku.
Untuk aku di 10 tahun yang akan datang,
Apakah sekarang kamu bahagia?
Apakah kamu sedang bersedih?
Ataukah kamu sedang menangis?Tanpa sadar aku menarik seulas senyum tipis. Bodoh! Tentu saja aku menangis. Mana mungkin aku bisa baik-baik saja setelah membaca ini?
Kulanjutkan membaca surat itu tanpa mengambilnya, hanya membaca dari atas. Dadaku bergedup kencang setelah membaca kelanjutannya.
Namun akan ada sesuatu yang tidak berubah. Apakah kamu masih melindunginya?
Tentu saja. Hari ini, aku masih ingin melindunginya. Tetapi...
***
SMA Kartawijaya, 5 Februari 2009.
"Oi!" seru seseorang dengan suara lantang seraya menepuk bahuku, membuatku menghempaskan cepat siomay yang baru saja kubeli dari kantin padahal perutku sedang lapar-laparnya. Langsung saja kulirik pelaku yang membuatku kaget hingga membuang uangku sia-sia.
"Ih, Ryan!" dengusku seketika seraya memasang wajah kesal. "Kamu nyebelin amat, sih! Aku lagi laper, tau!"
Sang pelaku penepuk bahu itu tak menggubris ucapanku dan hanya mengeluarkan senyum jahil penanda kemenangannya. Entah kenapa dia bangga sekali jika berhasil membuatku kesal.
Deg! Dadaku berdesir. Senyuman itu lagi! Senyumannya lebih manis daripada madu, lebih indah daripada senja yang biasa selalu dinanti banyak orang.
Diam-diam aku menyukai senyuman itu, hanya dengan menatapnya aku merasa seperti menemukan alasan hidup. Tapi tentu, aku tidak mau menunjukkannya! Tidak akan! Dia pasti akan besar kepala!
Tak puas mengeluarkan senyuman jahil nan mautnya itu, spontan ia malah tertawa terbahak-bahak. Tawa ala orang jahat di film-film! Dasar antagonis!
Aku jadi makin bete. Alhasil yang kutunjukkan padanya hanya bibir manyunku yang dimajukan lima centimeter dan lengan yang berkacak pinggang, "Ih, Ryan!" teriakku lagi sambil menatapnya tajam.
"Iya iya, nenek sihir. Aku cuma bercanda kok," setelah tergelak puas menghinaku, tiba-tiba dia langsung merangkul bahuku tanpa izin. Jantungku serasa ingin melompat karena kelakuannya itu.
Ryan Daffa Hardjanto.
Itulah namanya. Orangnya tak pernah bisa kutebak gerak-geriknya, semuanya serba spontan. Bahkan perasaanku padanya juga tiba-tiba. Aku tidak tahu apa yang kusukai dari seorang anak yang ceroboh sepertinya, dia tak pandai dalam hal apapun. Yang orang lain kenal darinya hanyalah tukang pembuat onar, rusuh, juga jahil.
Memang, seperti itulah Ryan. Berbanding terbalik denganku yang merupakan juara kelas, bisa pelajaran apapun kecuali satu. Aku paling payah dalam seni.
"Dih! Malah pake manggil nenek sihir segala, sih!"
"Hehehehe," Ryan tergelak lagi. "Maaf-maaf! Oke puteri Shafa-Marwa, kamu mau siomay lagi kan? Nih beli gih yang banyak!" Dia menyodorkan uang seratus ribuan. Aku tak menghiraukannya. Sombong sekali sih, mentang-mentang anak orang kaya!
KAMU SEDANG MEMBACA
1US - Letter Song✔
Short Story[ONE UNIVERSE STORY SERIES] -Shafa from Bawel vs Noob Karena surat yang kubuat 10 tahun yang lalu, membuatku kembali mengingatnya. Lagipula aku memang takkan mampu melupakannya, senyumnya adalah salah satu alasan hidupku. Aku kan selalu menjaga janj...