Pagi-pagi sekali setelah shalat subuh aku berniat untuk membeli sarapan di kios Ayam Geprek yang buka 24 Jam di jalan M Yamin Samarinda. Langit masih sedikit gelap. Dengan mengendarai motor beat putih, aku jalan keluar dari pagar kosku. Udara dingin pagi langsung menghampiri tubuh, menembus jaket yang kupakai. Dalam perjalanan menuju kesana, di jalan raya yang masih sepi, banyak kakek-kakek sang pencari kesehatan yang jalan santai dan juga jalan cepat. Tujuan mereka pasti agar sehat disisa umur mereka. Tidak sepertiku, anak muda yang yakin masih akan sehat 40 tahun ke depan.
Sesampainya di Kios Ayam Geprek, bau ayam goreng berpadu bau sambel rawit memenuhi kios sederhana yang tidak terlalu besar itu. Di kasir kios itu ada karyawan laki-laki bertubuh kurus menjaga kasir kios dengan mata yang mengantuk karena berjaga semalaman di kios 24 jam itu. Ia tetap melayaniku dengan senyuman dengan mata yang sayup-sayup.
"Silahkan Mas, Ayam geprek Jumbo atau normal? Sapanya dengan ramah
"Yang Jumbo ya, bagian Punggung, level 1 aja" jawabku semangat, sangking laparnya
"Geprek Jumbo, bagian punggung, level 1 ya mas, total Rp 14.000" ulang karyawan itu membaca pesananku yang sudah di print dalam struk belanja
"Oh iya mas, pakai nasi" tambahku lagi
"Pakai nasi jadi Rp 17.000, tunggu sebentar" keramahannya sedikit menghilang karena harus print ulang struk untuk menambahkan tulisan 'nasi'
"Oke"
Setelah pesananku jadi, aku langsung bergegas pulang. Di perjalanan terlintas dalam pikiranku, "kayanya enak nih kalau makan ada kuahnya" .
Aku mampir ke warung nasi campur untuk beli sayur santan. Ternyata belum ada. Aku baru ingat, ini masih pagi sekali. Semua warung masih sibuk masak dan belum menjajakan makanan yang akan di jual. Pagi-pagi seperti ini yang sudah start berjualan paling acil-acil1 Penjual Nasi kuning dan lontong sayur.
catatan:
1Acil berarti Bibi dalam bahasa banjar
"Oh iya ya, kan kalo lontong sayur ada kuah santannya" aku dapat ide demi mendapatkan kuah.
Tepat di depan warung nasi campur, ada yang jual nasi kuning dan lontong sayur. Segera kuhampiri tempat jualan itu. Tempat di pinggir jalan raya yang hanya bermodalkan meja panjang beralaskan karpet kulit bermotif kotak-kotak, dan di atas si penjual ada payung besar berwarna warni untuk melindungi penjual dari panas matahari pagi yang sebentar lagi akan datang. Terlihat seorang ibu paruh baya memakai jilbab,yang sibuk melayani pembeli yang mengerumuni jualannya.
"Nasi kuning kah lontong ding2?" tanya acil penjual nasi kuning itu padaku
"emm, nukar3 kuah lontongnya aja kawa kah cil ?" tanyaku sedikit ragu-ragu
"Bah, Kada Kawa4, nukar di tempat lain aja ikam5 !" jawabnya dengan nada jengkel
catatan:
2Ding, panggilan untuk yang lebih rendah umurnya
3Nukar, artinya beli
4 Kada Kawa, artinya tidak bisa
Aku kaget mendengar itu. Bagiku kalimat itu seperti mengusirku. Aku juga malu karena ada beberapa orang juga yang melihatku diperlakukan seperti itu. Demi harga diriku, aku pun membeli lontong sayur, nasi kuning dan beberapa lauk. Aku tidak mau dikira orang miskin oleh orang-orang yang memperhatikanku tadi.
Dalam perjalanan pulang, perasaan kesal bercampur amarah menggebu-gebu didalam dadaku. Aku berpikir kembali. Kenapa aku beli makanan dari acil itu. Andai acil itu kubalas dengan cacian dan makian. Aku sempat berfikir untuk balas dendam untuk memberi racun sakit perut ke makanan jualan acil itu seperti di sinetron-sinetron atau menabrak jualannya dengan mobil, setelah itu langsung kabur. "Argggh!" Teriakku jengkel dalam hati.