"Coba sini aku fotokan," diriku terkaget dengan keberadaan lelaki yang lebih tinggi sekitar 6 cm di belakangku.
"Boleh?" Tanyaku pelan. Aku memang bukan gadis yang pemberani untuk sekadar berbicara dengan orang asing.
"Boleh dong, mau pakai kameraku atau ponselmu?" Tawarnya sembari mengacung-acungkan kamera canon-nya ke atas.
Aku sebenarnya takut dengan lelaki sok akrab ini. Baru kali pertama bertemu langsung menawari ingin memotret. Kata bunda harus berhati-hati dengan orang asing. Tapi segera kutepis pikiran burukku karena sepertinya usia lelaki ini tak jauh berbeda dariku.
"Ponselku saja."
Aku menyerahkan ponsel berphonecase hello kitty warna merah muda itu kepada lelaki asing di depanku.
Dia mengangguk seraya tersenyum cerah kepadaku kemudian menerimanya.
"Coba dinyalakan dulu deringnya,"
Aku mengangguk tanda menjawab sudah.
"Sudah?" Tanyanya ulang. Aku sedikit heran dengannya karena saat dia malah menatapku dengan tatapan kosong ? Atau sepertinya dari tadi dia menatapku seperti itu.
"Sudah," kataku, kali ini lumayan keras.
"Oke. Pose yang cantik ya," ucapnya sembari mengarahkan ponselku kepadaku.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun berlalu pergi.
Sesimpel itu pertemuan singkat kami. Dan tentu saja membekas di hati terdalamku.
"Kak Iyaaaaad!!!" Pekikan yang tak asing di sore hari terdengar. Siapa lagi kalau bukan suara si Bubi, anak lelaki usia 12 tahun tetanggaku yang setiap sore bermain di sekitar rumah.
Namun kala itu dia berteriak tak biasa karena kata "Kak Iyad" begitu asing di telingaku. Bubi biasa meneriaki nama Fano atau Raka teman sepermainannya atau tidak ya kak Rafi yang sering menggodanya ketika akan berangkat ke tempat kerja.
Kufokuskan untuk melihat siapa yang sedang diteriaki oleh Bubi. Eh ?
"Kak Iyad jahat! Aku kan pengen main sama Rafa. Kak Iyad gak bisa liat kenapa bisa mengejarku!!" Bubi menangis meraung-raung.
Si Iyad yang sedang mengejar Bubi membuatku mengulang memori masa lalu. Iyad yang sedang berlari saat ini adalah orang yang sama dengan si potret.
Tawa renyah dari si Iyad menghiasi sepanjang kejaran mereka berdua. Bubi yang tak terlalu berlari dengan kencang pun mudah ditangkap oleh yang lebih tua.
"Bubi!! Sini, nak sudah sore. Ziyad juga ayo sini," wanita dewasa yang kutahu adalah mama Bubu memanggil mereka dari depan rumahnya.
Aku mengangguk-angguk. Sudah kuketahui nama si potret.
"Permisi," atensiku yang tadi berada penuh di masakan yang kumasak, kini berada di pintu depan yang terbuka seiring bunda yang membuka pintu itu untuk menyambut tamu.
Iyad dengan mama Bubi.
"Oh, ini Ziyad ?"
Ziyad atau Iyad ya yang benar ? Dia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan bunda.
Masakanku tidak begitu penting kala itu. Aku lebih tertarik menguping pembicaraan ketiga orang yang berada di ruang tamu itu.
Jika ketika itu aku membawa piring mungkin benda itu sudah terjatuh berkeping-keping karena keterkejutanku mengetahui fakta bahwa orang yang sama dengan orang yang memotretku tiga tahun adalah seorang tunanetra, sejak lahir.
Dan mulai saat itu, aku kagum dengan lelaki bernama Iyad.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnionette; Potret
Teen Fiction(Mignionette : Bunga dengan arti kemampuanmu melebihi pesonamu.) "Feelingku mengatakan dunia indah kok." Ziyad. (15122018-...)