Kau datang padaku, membawa luka lama.
.
Maaf kalau ada misstypo. Selamat membaca!
.
"Oni."
Tiga tahun berlalu. Anthony masih saja hapal intonasi dan gaya pengucapan namanya dari seseorang yang sama sekali tidak ingin ditemuinya, setidaknya untuk tiga tahun belakangan sejak kelulusan SMA-nya.
Dirinya berbalik, mencoba maklum mereka berada di universitas yang sama. Dia menemukan sosok menjulang tinggi beberapa senti darinya, kemudian kembali mencoba maklum bahwa tempat wisuda yang sama membuat mereka riskan untuk bertemu.
Tapi tatapan polos tanpa dosa pria di depannya sukses membuatnya muak. Anthony ingin pulang, ganti baju, kalau perlu ditambah ngacir ke manapun ke tempat teman-temannya berpesta merayakan wisuda. Asal jangan terjebak di lorong sepi dekat toilet pria, dengan orang yang paling dia hindari.
"Aku mau ngomong sama kamu."
Anthony menolak untuk menatap balik sorot mata serius yang tengah mengamatinya.
"Kamu mau jadi pasangan hidupku?"
To the point seperti biasanya.
Anthony tidak tahan untuk tidak melihat bagaimana wajah meminta dari sosok yang tengah berdiri di depannya. Kelihatannya tidak niat seperti sebuah lamaran pada biasanya, tapi sorot mata itu sangat dihapal oleh Anthony, pria di depanya ini serius.
Cih.
Anthony ingat tiga tahun lalu, ketika SMA-nya ramai mendapat pengumuman siswa 40% dari sekolahnya yang pantas memilih prodi di universitas impian menggunakan jalur raport. Dirinya sudah bahagia sekali tidak ada saingan. Sudah merasa di atas awan saja tahu tidak ada satupun siswa di sekolahnya yang satu prodi dengannya.
Hingga akhirnya, nama Jonatan Christie muncul. Seperti sebuah tamparan, H-3 rekap data prodi siswa yang akan SNMPTN diedarkan ke tiap kelas. Namanya berada di bawah Jonatan karena mereka satu prodi, dan kebetulan peringkat Jonatan lebih unggul dari Anthony.
Pikiran Anthony mengatakan bahwa posisinya terancam. Lagi pula, anak seperti Jonatan bisa mendapatkan prodi yang lebih unggul dari pada prodinya. Kenapa harus ikut-ikutan satu prodi dengan Anthony?
Meminta adalah sesuatu yang sulit dilakukan oleh Anthony. Tapi ini demi masa depannya. Dia tidak mau lima semesternya di sekolah sia-sia hanya karena Jonatan menghalanginya.
Anthony mencari Jonatan sore itu. Dalam batinnya berkecamuk antara yakin dan tidak yakin untuk memohon kepada Jonatan agar pindah prodi, sekaligus mencari prodi pengganti kalau semisal Jonatan menolak permintaannya.
Anthony menemukan Jonatan di parkiran sekolah. Sendiri, untungnya. Anthony menghentikan Jonatan yang hendak memundurkan motor. "Kita satu prodi, keknya."
Jonatan sepertinya paham apa yang akan Anthony katakan. Dia tersenyum manis, entah apa maksudnya. Tapi senyuman itu tidak lantas membuat Anthony luluh, tekadnya tetap kuat untuk meminta Jonatan pindah prodi.
"Aku mohon pertimbangkan lagi prodimu. Kamu punya kesempatan lebih besar dari aku. Pindah, ya? Please?"
Dan Anthony masih ingat betul bagaimana Jonatan menarik senyumnya semakin lebar, lengkap dengan mata yang menyipit. Harapannya, Jonatan akan mengeluarkan kata-kata manis semanis wajahnya.
Sayang, dunia Anthony runtuh saat itu juga.
"No, thanks."
Hanya dua kata. Tapi sakitnya membekas untuk tiga tahun dirinya bertahan satu universitas dengan Jonatan.
Dan sekarang dia mendapati Jonatan tengah meminta sesuatu darinya, hatinya. Hati yang dibuat hancur lebur oleh orang yang sama. Tentang masa depan yang pecah berhamburan di depan matanya, hanya oleh dua kata singkat.
Jonatan kembali menampilkan senyum manisnya, seolah keheningan di antara mereka adalah sebuah lelucon. "Kenapa? Masih sakit hati sama kejadian tiga tahun lalu?"
Katanya, dengan sangat enteng.
Anthony menunduk, tangannya terkepal menahan amarah yang perlahan tumbuh dalam hati.
"Maaf, aku gak bilang sebelumnya. Aku ambil prodi ini juga biar bisa bahagiain kamu nantinya. See? Aku udah sukses. Menurutku kita impas. Oke, dulu aku ngrebut prodi impianmu. Tapi sekarang aku balas dengan menikahimu. Impas, kan?"
Anthony menarik salah satu sudut bibirnya.
Jonatan menganggap kejadian tiga tahun lalu dengan sangat remeh. Jonatan menganggap frustasi dan tangis tertahannya dengan sangat remeh. Dan orang seperti itu kini berani mengharapkan hatinya?
"Oni?"
Melihat Anthony yang lama terdiam dengan sebuah senyum janggal membuat Jonatan khawatir juga akhirnya. Perlahan, Jonatan mengamit tangan Anthony. "Marry me, please?"
Jonatan tersungkur ke belakang karena sentakan kuat Anthony. Dari posisinya yang terduduk di lantai, Jonatan bisa dengan jelas melihat bagaimana wajah Anthony.
Pria itu tersenyum, meski bibirnya bergetar. Senyum itu adalah senyum termanis yang pernah Jonatan lihat. Jonatan pikir, senyum Anthony adalah pertanda baik lamarannya akan diterima. Tapi jawaban yang diberikan oleh Anthony tidak semanis senyumannya.
"No, thanks."
Anthony sukses membuat dunia Jonatan runtuh hari itu.
Kemudian dia berbalik. Sama sekali tidak keberatan membiarkan Jonatan terpaku di lantai koridor dekat toilet. Senyum manisnya berubah menjadi seringai tipis. Puas dirasanya karena melihat bagaimana Jonatan hancur.
Apa yang dilakukannya cukup sederhana, dia hanya mengembalikkan pisau yang pernah Jonatan lempar.
Heheh. Impas, kan?
END.
A/N : Ahohoooo. Comeback di tengah simulasi dan minggu depan bakal tryout disusul minggu depannya lagi bakal semesteran. Heuh, jadwal kelas terakhiran kok begindang ya. Btw, puji syukur saya ikut kuota 40% sekolah yang boleh SNM ^^.
Doakan yang terbaik, ya!
Anw, menurut kalian kalau ada di Univ!Au, Oni sama Jojo cocoknya masuk prodi apa, ya? Tulis pendapat kalian di kotak komen, yes~
Salam.
YOU ARE READING
MINE - Jothony Drabbles
Short StoryMarvin saja saya bikinkan kumpulan drabbles, masa Jothony sebagai kapal utama di Badminton RPF saya anak tirikan? Hmmm, hati nurani ini menolak.